Diberdayakan oleh Blogger.

Translate This Page

RSS

I'm Sorry, Avalana - a short story by me

Aku memang tak secantik Avalana. Dan aku memang tak bisa seanggun dirinya, tapi tolonglah, aku juga hidup, aku ada disini, aku juga ingin mendapat perhatian lebih dari orang-orang sekitar ku, terutama Ayah dan Bunda.
Aku memang sangat....

berbeda dengan Avalana yang cantik nan anggun. Akulah Azhalana, saudara kembar Avalana. Si tomboy yang tak bisa diam. Aku selalu saja aktif dalam kondisi apapun, dan selalu memasang tampang sangar, tak pernah sedikitpun bisa anggun bak Princess atau kalem bak Miss Universe, bahkan aku sudah mendapat sabuk biru diseragam taekwondoku, juga teman-teman cowokku disekolah banyak yang segan padaku, mungkin itu alasan mereka lebih tertarik pada Avalana yang lebih bisa feminim bagaikan Princess dan Miss Universe dibandingkan aku.

Mungkin Ayah dan Bunda terlalu memanjakan Avalana dengan alasan Avalana terlalu lemah, penyakit leukimianya sudah stadium lanjut. Namun aku pikir, itu bukan alasan yang kuat untuk mengurangi perhatian mereka padaku, yang sebagai anaknya -juga-.

Aku tidak minta penyakit Avalana berpindah padaku agar aku bisa mendapat perhatian lebih dari kedua orang tuaku, tidak. Walaupun kata Dokter, suatu saat nanti cepat atau lambat penyakit Avalana akan ada pada diriku juga, saudara kembarnya. Entahlah.

“Hey! Jangan berani kalian sentuh saudara guaaa!” Teriakku saat aku melihat beberapa orang lelaki sedang menggoda Avalana yang duduk sendirian dikoridor sekolah sambil memakan bekalnya.
Mereka semua langsung kabur saat melihatku tengah berdiri bertolak pinggang dan menyingsingkan kedua lengan bajuku.


Aku menghampiri Avalana.
“Lo gak boleh diem aja kek,” ujarku sewot pada Avalana.
“Iya ya, maaf, Zha. Gua takut ngelawan mereka, mereka kan banyakan.” Jawab Avalana lirih.
“Dasar,” Aku duduk disamping Avalana. “Bagi bekalnya dong, bekal gua abis tadi.” Aku mengambil roti ditempat bekal Avalana. Tidak peduli ia masih lapar atau tidak. Tapi aku lihat ditangan Avalana masih ada satu besar potong roti yang belum habis ia makan.
“Oya, Zha, tadi Gerald bilang, hari ini ada latihan taekwondo, jamnya seperti biasa, karna besok ada sparing dadakan sama club sebelah.” Ucap Avalana.
“Oh, oke.” Jawabku sambil masih mengunyah roti bekal Avalana.
“Lo mau ikut ga?” Tanyaku.
“Ikut kemana?” Tanya Avalana balik.
“Ke tempat latihan taekwondo lah, kemana lagi,” Jawabku ketus.
“Lo ada-ada aja, deh.” Jawab Avalana sambil tersenyum. Siapapun yang melihat senyumnya pasti akan meleleh. Bibirnya yang berwarna merah dan tipis, hidungnya yang mancung, matanya yang indah dibingkai dengan bulu mata lentiknya, alisnya yang tebal dan rambutnya yang hitam melengkapi kecantikan Avalana. Akupun memiliki semua yang ada pada fisik Avalana, namun semua itu tertutup oleh ketomboy-anku. Ya mau gimana lagi? It's me, okay?
“Ya siapa tau gitu, lo mau ikut taekwondo bareng gua biar bisa ngelawan tuh cowok-cowok brengsek yang suka iseng gangguin lo, haha.” Ujarku sambil bercanda, Avalana tertawa agak lepas.
Selang beberapa saat, tawanya menghilang. Hidungnya kembali mengeluarkan darah.
“Maafin gua, Val.” Aku membopong Avalana ke UKS.
“Ngga apa-apa, Zha, bukan salah lo, kok.” Jawab Avalana.


Sesampainya di UKS, aku membaringkan Avalana ditempat tidur yang ada, dan membersihkan darah yang berlumuran disekitar hidung dan mulutnya dengan tisu.

“Hey kalian? Ngapain disini?” Tiba-tiba terdengar suara tanya seseorang yang baru saja memasuki UKS.
Gerald.
Aku memberi isyarat atas pertanyaan Gerald. Gerald langsung paham dan memberi senyuman sapa pada Avalana, Avalana membalasnya dengan ekspresi lemah.
Gerald berjalan mengambil betadine dan membalurkannya pada sikutnya. Sikutnya berdarah!
“Biar gua bantu,” ujarku mengambil perban dan membalut luka disikut kanan Gerald.
Gerald menatapku. Aku pura-pura tak menyadarinya. Gerald menyeka poni yang mengahalangi wajahku dan menyelipkannya ditelinga kiriku. Poni yang tak pernah ku atur dibalik rambut kuncir satuku.
Aku tersenyum. Gerald membalasnya.
“Aduhh...” Suara rintih Avalana membuyarkan keheningan kami. Ku lirik Avalana, ternyata darah dari hidungnya masih keluar agak banyak, namun aku membiarkan ia membersihkannya sendiri.
Aku mencoba mengalihkan perhatian.
“Udaaah,” aku kegirangan setelah selesai memperban luka disikut kanan Gerald.
“Thanks,” Gerald tersenyum dengan matanya yang teduh.


“Lo gak apa-apa, Val?” Tanya Gerald kemudian penuh kekhawatiran menghampiri tempat tidur Avalana.
“Ngga apa-apa, Ger.” Jawab Avalana tersenyum lemah.
Entah mengapa aku merasa panas menyaksikan mereka. Akhirnya aku berjalan keluar ruangan.
“Lo mau kemana, Zha?” Teriak Gerald.
“Kelas.” Jawabku jutek masih sambil berlalu meninggalkan mereka.


*

Pelajaran favorite-ku dimulai, B. Inggris, Ms. Khazee menerangkan materi yang baru saja kami catat. Aku begitu menyukai dan mungkin menguasai pelajaran ini, bahkan Ms. Khazee sang wali kelasku menjadikan ku sebagai murid -kesayangan- kepercayaannya.
Tiba-tiba saja, Ms. Khazee berhenti menerangkan dan wajahnya clingak-clinguk seperti mencari sesuatu atau bahkan seseorang.


“Dimana Avalana? Saya tidak melihatnya. Zha?” Benar saja, Ms. Khazee mencari-cari Avalana yang tak ada ditempat duduknya.
“Avalana di UKS, Miss, penyakitnya kambuh.” Jawab Dira cepat, teman sebangkunya.
Aku mengangguk mengiyakan.
Huffft, lagi-lagi Avalana. Apa-apa Avalana. Apa-apa Avalana. Aku tidak yakin, mereka akan menanyakan dan mengkhawatirkanku ketika aku tak ada diantara mereka.


“Excus me, Miss. Sorry, I'm late.” Suara seseorang dengan parau memasuki ruang kelas. Avalana!
Wajahnya pucat.
“It's okay, sit down please..” Jawab Ms. Khazee.
Hening. “Avalana, are you okay?” Tanya Ms. Khazee yang sepertinya memperhatikan wajah Avalana yang pucat.
“I'm okay, Miss.” Jawab Avalana lemah.
Dan beberapa orang siswa laki-laki langsung menghampiri Avalana untuk membantunya berjalan.
“Avalana, lo gak apa-apa?”
“Biar gua bantu jalan, Val..”
“Val, gua gendong aja mau?”
“Eh, Val, nih pake sweater gua biar lo gak kedinginan.”
“Blablabla....”


Aku menatap wajah Avalana, lalu membuang pandangan.
Grrrrr.
Muak rasanya. Perhatian mereka sangat penuh terhadap Avalana. Selaluuu saja Avalana.
“Gak usah, gua bisa sendiri.” Jawab Avalana sok kuat -seperti biasanya-.


“Zha! Lo gimana sih, bukannya bantuin, malah bengong aja, saudaranya lagi sakit juga!” Ujar salah seorang laki-laki yang mengerubungi Avalana. Aku hanya mengerlingkan mata.

Saat jam istirahat, aku melihat Gerald sedang duduk berdua bercanda tawa bersama Avalana dibangku taman.
Avalana memang cantik, rambutnya yang panjang berwarna hitam menggerai tertiup angin menambah kecantikan wajahnya. Gerald dan Avalana tertawa begitu lepas.
Karena Gerald, sepertinya Avalana bisa terhibur dan sedikit lupa akan penyakitnya.


“Ekhem...” Aku berdehem ketika ku sudah ada didekat mereka. Tawa mereka seketika berhenti dan mengalihkan perhatian padaku.
“Eh, elo Zha, sini gabung.” Ujar Gerald.
“Gak usah, gua cuma mau nanyain, siang ini latihan?” Tanyaku jutek.
“Iya, latihan. Kaya biasa, ya.” Jawab Gerald.
“Oke, thanks.” Jawabku jutek meninggalkan mereka.


Jujur. Aku cemburu.

*

“Lo balik duluan aja, bilangin Bunda gua langsung ketempat latihan, dan pulang agak telat.” Ucapku pada Avalana saat Avalana berdiri didepan mejaku menungguku untuk pulang.
“Ya lo mesti balik dulu lah, Zha. Makan dulu...” Belum selesai Avalana berkata, aku memotongnya.. “Gak perlu, udah sana lo balik, bilangin Bunda jangan lupa!” Ujarku ketus.
“Yaudah, gua duluan, ya.” Ujar Avalana berlalu meninggalkanku.


Aku menyuruh Avalana pulang duluan semata-mata bukan karna aku akan langsung pergi ketempat latihan, melainkan aku memang tidak ingin pulang bersamanya. Aku masih marah pada Avalana gara-gara tadi ia bercanda berdua dengan Gerald. Aku tidak rela melihatnya. Sungguh.

“Hey!” Sapa seseorang. Aku mendongak. Rupanya Gerald. “Udah selesai? Yuk berangkat!” Kata Gerald.
Aku mengangguk dan beranjak dari tempat dudukku. “Yuk!”
Btw, dimana Avalana?” Tanya Gerald. Lagi-lagi Avalana.
“Dah balik duluan,” Jawabku datar.
Yesss! Berati gua bisa full time berduaan sama lo, yippiiii..” Sahut Gerald kegirangan. Aku tak menyangka.
Aku tersenyum malu-malu.
“Apaan sih, lo!” Aku menonjok bahu Gerald.
“Duh, sakit tau!” Gerald meringis memegangi bahunya yang kena tonjok aku, haha.
Tadi aja dia asyik dan sangat menikmati waktunya bersama Avalana, sekarang ia malah kegirangan ketika bersamaku saat tak ada Avalana. Apa maksud Gerald sebenarnya?


*

Saat sedang latihan, ada seorang perempuan memakai mantel, syal, dan --bucket hat-- datang menghampiri kami. Dibelakangnya berjalan Pak Upi membuntuti. Tidak salah lagi, Avalana! Ngapain sih, dia dateng kesini?
Gerald dan Coach segera berjalan menghampiri Avalana. Aku tetap cuek meneruskan gerakan latihanku sampai Coach memangilku “Azhala! Kemari!” Panggil Coach, dengan malas aku menghampiri mereka.
“Zha, ini gua bawain makan siang buat lo, gua tau lo belum makan.” Ujar Avalana memberikan kotak nasi dan sebotol air mineral. Wajahnya masih pucat.
“Tadi Neng Avala maksa minta dianter kesini, Neng. Padahal Bapak dan Ibu melarangnya.” Jelas Pak Upi, supir pribadi kami.
Aku hanya diam. Langsung merebut bekal yang diberikan Avalana, “Thanks!” Serobotku kasar.
“Zha, Coach dan Gerald akan kembali ke lapangan, silahkan saja kamu berbincang.” Kata Coach.
“Terimakasih,” jawabku pada Coach. Lalu Coach dan Gerald berlalu.
“Yaudah sana lo pulang lagi, istirahat! Gak usah keluyuran mulu.” Kataku kasar. Padahal dikata-kataku tadi tersirat kepedulian untuk Avalana.
Avalana tersenyum. “Yaudah kalo gitu, gua balik dulu ya, Zha. Jangan lupa makan bekalnya.” Pesan Avalana sebelum pergi. Sebelum membalikan badan, hidung Avalana kembali mengeluarkan darah. Avalana mimisan lagi.
“Nah, kan.” Aku segera membersihkan darah yang keluar dari hidung Avalana dengan lengan baju putih taekwondoku. Pak Upi langsung memapah Avalana ke mobil. “Neng, Bapak pulang dulu ya, Neng mau disini aja?” Tanya Pak Upi buru-buru.
“Iya, Pak, saya bentar lagi pulang kok. Suruh Avalana istirahat.”
“Baik, Neng.”


Saat kembali ke lapangan untuk latihan, Coach bertanya, “Azhalana! Mengapa dengan lengan bajumu?” Mungkin ia heran melihat lengan baju putihku yang berlumuran darah.
“Darah mimisannya Avalana, Coach. Maaf, nanti akan segera saya bersihkan,” Jelasku. Lalu kami melanjutkan latihan dengan serius.


Saat break, aku memakan bekal yang dibawakan Avalana, untung saja ia datang membawakanku makanan ini. Memang benar, perutku sangat lapar sekali.

Sesampainya dirumah...
Aku menengok ke kamar Avalana, Avalana sedang terbaring lemah ditempat tidurnya. Matanya terpejam, bibirnya berwarna pucat pasi, wajahnya juga. Saat seperti ini, ingin rasanya aku menggantikan posisi Avalana. Ingin sekali aku menangis melihat saudara kembarku selalu menderita dengan penyakitnya.


Avalana sangat baik. Padahal tadi saja aku sengaja menyuruhnya pulang duluan, eh dia malah dateng lagi membawakan makanan untukku. Saat seperti ini, aku merasa beruntung mempunyai saudara sebaik Avalana. Namun entah mengapa, kadang juga aku merasa benci pada Avalana.

“Azhala..”
“Eh, Bunda.” Aku terkejut saat Bunda tiba-tiba muncul.
“Avalana tadi mimisan lagi saat pulang dari tempat latihanmu.”
“Iya, Bun, tadi saat Avalana akan pulang dari sana, tiba-tiba hidungnya mimisan lagi. Ini pasti gara-gara Avala maksain nganterin makanan buat Azhala, maafin Azhala, Bun, ini semua gara-gara Azhala...” Kataku sembari mataku mulai berkaca-kaca.
“Sudah, jangan dibahas, kau pasti lelah. Pergi mandi lalu makan, istirahatlah.” Jawab Bunda sedikit jutek.


Jelas, Bunda marah padaku. Belum lagi saat Ayah datang nanti. Pasti aku akan kena semprot juga. Anak Ayah dan Bunda memang hanya Avalana. Bukan Azhalana.

Aku pergi ke kamar untuk menenangkan diri, hingga ku ketiduran.
Saat terbangun ku lirik jam dinding yang ada disudut kamar, jam 4.30 sore!
Aku pergi menengok Avalana lagi dikamarnya. Avalana masih tidur. Tumben sekali dia.
“Bunda, Avalana masih tidur?” Ku temui Bunda yang sedang sendirian diruang keluarga. Bergegas Bunda menghampiri Avalana dikamarnya. Aku membuntutinya, Bunda meraba kening Avalana. “Avalana...” Kata Bunda lirih.
Avalana tak bergeming juga. Bunda mencoba mengguncang-guncang tubuh Avalana, tetap tak bergeming. Disitu Bunda mulai panik.
“Segera telfon Ayahmu!” Perintah Bunda, aku segera menelfon Ayah agar segera pulang, sementara Bunda menelfon Dokter untuk datang kemari. Kemudian Bunda menelfon Gerald untuk datang kesini.
Ya, memang Ayah dan Bunda sudah sangat mengenal Gerald. Bahkan keluarganyapun.
Aku menatap Avalana yang berbaring terpejam dengan tatapan nanar. Orang-orang sekitar begitu khawatir pada Avalana. Sekali lagi aku tak yakin orang-orang sekitarkupun akan seperti ini jika aku yang mengalami keadaan seperti Avalana.


Tak lama Ayah datang dengan tergopoh-gopoh.
“Dimana Avalana? Apa dia baik-baik saja, Bun?” Tanya Ayah pada Bunda. Bunda tak menjawab, segera Ayah dan Bunda menghampiri Avalana ditempat tidurnya.
Lalu kemudian disusul kedatangan Dokter yang langsung memeriksa Avalana.
Pak Upi dan Bik Inah mendampingi Ayah dan Bunda.
Tak lama juga disusul kedatangan Gerald bersama Tante Inggrid dan Om Aris, Gerald langsung menghampiri Avalana, berdiri disamping tempat tidurnya dan menggenggam tangan Avalana.
Aku berdiri mematung diambang pintu menyaksikan semua ini.
Tak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku disini. Mataku panas, terlebih pada hatiku.


Aku berlari meninggalkan kamar Avalana dengan membanting pintu, tak peduli akan reaksi mereka.
Sepertinya mereka juga tak menyadari suara keras pintu yang ku banting karena saking khawatir dan sibuknya dengan Avalana mereka.


Aku mencurahkan kekesalan dan kemarahanku dengan memanjat pohon mangga yang didepan rumah dengan brutal. Aku akan menenangkan diri diatas pohon mangga dan menikmati mangga asam yang belum matang disertai angin sepoy-sepoy untuk menghilangkan stressku.
Tetapi.... Aaarrrghhhhh aku terpeleset saat memanjat batang pohonnya yang licin.
Namun....


Brukkkk

Seseorang menangkapku. Aku jatuh dipelukannya. Gerald!
Lama kami saling menatap. Sungguh adegan ini seperti di FTV-FTV. Baiklah.


Saat menyadari semuanya, Gerald membantingkan badanku ketanah.
“Adawwww!” Aku merintih kesakitan.

Rupanya tadi Gerald menyadari gebrukan pintu kamar Avalana dan mengejarku.
“Maaf, maaf...” Gerald membantuku berdiri.
“Ngapain lo disini? Bukannya tadi lo dikamar Avalana?” Tanyaku sewot.
“Emang gak boleh?” Tanyanya balik.
Aku hanya manyun.


“Avalana dibawa kerumah sakit, lo mau ikut? Bareng gua aja,” tawar Gerald.
Aku cengo saat melihat Ayah membopong tubuh Avalana melewati pintu keluar rumah dan membawanya ke mobil.
Aku yang berdiri disekitar taman teras rumah segera menatap Gerald meminta penjelasan.
Gerald menangguk.
“Gerald! Ayo segera kita ke RS!” Teriak Om Aris dari arah mobilnya.
“Gerald sama Azhala nyusul, Pa!” Jawab Gerald.
Lalu kemudian Dokter, Ayah, Bunda, Tante Inggrid, Pak Dokter, Pak Upi dan Bik Inah mengantar Avalana ke rumah sakit.


“Tunggu! Ada yang ketinggalan.” Aku berlari ke kamar Avalana untuk mengambil jam tanganku yang tertinggal dikamar Avalana saat aku pulang latihan tadi. Tak sengaja aku menemukan secarik kertas ditempat tidur Avalana.

‘Aku memang mencintai Gerald, tapi aku sadar akan kondisi fisikku yang tidak memungkinkan. Dan aku tau, Gerald lebih mencintai Azhalana, saudara kembarku. Aku mengetahui ini dari Gerald sendiri yang tak jarang menceritakan kekagumannya pada Azhalana saat bersamaku. Jadi aku minta, buat Azhalana tolong jaga Gerald baik-baik, ya.. Gerald, tolong jaga Azhalana juga, gua gak mau ngeliat air matanya jatuh cuma gara-gara lo.
                                                                                       -Avalana’

Deg. Jantungku seperti mau copot rasanya. Antara sedih, shock, dan tak menyangka menjadi satu. Rupanya saat sebelum 'tidur' tadi, Avalana sempat menulis surat ini untuk kami.

Aku segera berlari keluar rumah menemui Gerald yang menungguku.
“Gerald! Buruan kita ke rumah sakit sekarang. Cepat!” Gerald keheranan namun ia tak menjawab apa-apa, ia segera memakai helmnya dan menancap gas.


*

Sesampainya dirumah sakit, aku menemui Ayah, Bunda dan yang lainnya sedang menunggu dengan gelisah didepan ruang ICU. Rupanya kondisi Avalana semakin kritis.
Aku segera menghampiri mereka dan memeluk Bunda. Aku menangis dipelukan Bunda.
Tak lama Dokter yang menangani Avalana keluar.
Kami semua segera meminta keterangan Dokter.
“Kondisi Avalana semakin kritis, penyakitnya semakin parah. Harus segera dilakukan operasi dan kemotheraphi untuk memperlambat pertumbuhan kanker..” Jelas Dokter. Aku menitikkan air mata. Ayah dan Bunda juga.
“Boleh kami melihat keadaan Avalana, Dok?” Tanya Ayah pada Dokter.
“Boleh, maksimal hanya dua orang yang diperkenankan menengok pasien.” Lalu Dokter meninggalkan kami.


Ayah dan Bunda, lalu kemudian aku dan Gerald memasuki ruangan.
Terlihat Avalana terbaring tak berdaya dibantu alat bantu pernapasan ditempat tidur.
Aku menggenggam tangan Avalana dan mengajaknya berbicara. Air mataku bercucuran.
Tak terasa, ada tetesan merah yang tiba-tiba jatuh ketempat tidur. Hidungku berdarah! Bersamaan dengan darah yag keluar dari hidung Avalana. Lalu kemudian Avalana tersadar dan membuka matanya.
Ia tersenyum padaku. Aku bahagia sekali rasanya. Lalu 3 menit kemudian Avalana kembali memejamkan mata dan tak sadarkan diri.
“Ayahhh, Bundaaa...” Aku berteriak memanggil Ayah dan Bunda yang berada diluar ruangan untuk memberi tau keadaan Avalana yang baru saja sadarkan diri, dan terpaksa kami melanggar aturan, semua yang diluar ikut memasuki ruangan. Ayah, Bunda, Tante Inggrid, dan yang lainnya masuk ruangan ICU dan memanggil Dokter.


“Ikatan batin antara saudara kembar memang sangat kuat, Azhalana bisa merasakan apa yang dirasakan Avalana. Begitupun sebaliknya. Dan kali ini, dengan berat hati, terpaksa kami harus menyampaikan bahwa keadaan Avalana benar-benar kritis, kami harus melakukan operasi pada Avalana sekarang juga. Bagaimana? Apakah pihak keluarga setuju?” Jelas dan tanya Dokter sekaligus.
Mau tidak mau, terpaksa kami menyetujuinya.


Namun 15 menit sebelum operasi dimulai, takdir berkata lain.
Alat bantu pernafasan Avalana berhenti begitu saja. Kami semua menjerit menyaksikan kepergian Avalana. Aku menangis sekencang-kencangnya.


“Gua belum siap kehilangan Avalana, Gerrr...” Aku menangis memukul-mukul Gerald dipelukannya.
“Sabar, Zha, lo harus ikhlas, biar Avalana tenang disana.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Gerald. Aku lihat ekspresinya juga sepertinya ingin menangis, terlihat sekali matanya berkaca-kaca.


Dipemakaman...

Saat semuanya sudah pergi, hanya ada aku dan Gerald yang masih membungkuk disamping makam Avalana.

“Avalana... Maafin gua selama ini gua selalu iri sama lo, iri sama kecantikan lo, sama perhatian orang-orang disekitar lo. Maafin gua, Avala... Maaf banget. Gua nyesel akan semua itu, padahal selama ini lo selalu baik sama gua. Maafin gua...” Aku menangis sesenggukan. Air mataku bercucuran banyak.
Gerald dengan sabar menenangkanku, “Udah Zha, ini malah bikin Avalana berat disana. Ikhlasin Avalana, biar dia tenang, Oke? Masih ada gua disini.”
Aku menangis kencang dipelukan Gerald dan merasakan kehangatan dipelukannya, pelukan yang benar seperti apa yang dikatakan Avalana disurat terakhirnya.


***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar