Diberdayakan oleh Blogger.

Translate This Page

RSS

Happy Flowers - A short story by me

Hai, namaku Sharon, tapi teman-teman dan orang-orang terdekatku biasa memanggilku Sasha. Sekarang umurku 19 tahun, kuliah semester II.
Namun, di usia mudaku ini, aku sudah menikmati kesuksesanku. Aku mulai berbisnis sejak SMA, menjadi reseller dari para olshop-olshop, sebenernya saat itu aku cuma iseng untuk memanfaatkan
waktuku agar tidak kebuang percuma saat menggunakan internet, hingga beberapa waktu sampai sekarang aku sudah bisa membuka bisnis usahaku sendiri. Ya, aku sekarang mempunyai toko yang menjual bunga dan beberapa barang unik keperluan untuk kado. Bahkan aku sudah membuka cabang tokoku ini dibeberapa daerah. Berjualan seperti ini cukup laku memang dikalangan remaja. Alhamdulillah, ini berkat Ibu yang selalu menyebut namaku disetiap doanya. Usahaku memang keras, namun semuanya akan sia-sia jika Ibu tidak mendoakan dan Allah tidak merdhai.

Sebulan sekali, aku selalu mengirimkan beberapa dari hasil usahaku pada Ibu dilembur.
Sungguh bahagia rasanya, aku tak henti-hentinya mengucap syukur dan mendirikan sholat malam. Terimakasihku penuh pada Allah Swt. Aku sadar, ini semua hanya titipan. Jika suatu saat nanti titipan ini diambil lagi oleh sang maha kuasa, aku bisa apa?

Aku kuliah di universitas yang cukup terkenal di Jakarta, mengambil fakultas Pendidikan Bahasa Asing. Disamping bisnisku tadi, aku tidak melupakan studiku. Bahkan, bulan depan aku terpilih untuk ikut pertukaran pelajar ke luar negri. Alhamdulillah..

Sahabat-sahabat dekatku lumayan banyak, aku bersyukur punya sahabat seperti mereka. Namun, hanya ada satu orang yang benar-benar sahabatku, Lesha namanya. Dulu kami bertemu di SMP, lalu bertemu lagi di SMA, saat kuliah, barulah kami berpisah. Ia memutuskan memilih untuk melanjutkan kuliahnya dikota yang berbeda.
Hal ini membuat kami jarang bertemu, paling cuma kontak lewat gadget, itupun sangat jarang, karna mungkin kami mempunyai kesibukan masing-masing.

Aku akan sedikit menggambarkan Lesha.
Lesha itu imut, matanya sipit, kulitnya putih, ya pokoknya oriental lah, badannya tidak terlalu tinggi dan agak berisi, pokoknya jika kalian melihatnya, mungkin kalian akan gemas dan tak menyangka bahwa ia adalah anak kuliahan. Baby face sekali wajahnya. Dan ia... Berjilbab.
Hmmm, membicarakan tentangnya jadi membuatku rindu pada Lesha, hanya ia yang mampu bertingkah konyol dan membuatku tertawa renyah.

*

Plang bertuliskan "Sasha Flowers Store" sudah terlihat. Aku mempercepat langkah agar segera sampai tempat tersebut.
Saat membuka pintu toko, terlihat beberapa pegawaiku sedang melayani para pelanggan.
Aku menduduki meja kerjaku, capek sekali rasanya kuliah seharian.
Aku memijat-mijat dahiku yang terasa pusing, badanku pegal, sampai mataku terpaku pada seorang laki-laki yang sedang memilih-milih bunga. Dia. Tampan. Sekali.
Tak sengaja pandangan kami bertemu, ia mengangguk dan melontarkan senyum.
Aku membalasnya hanya dengan anggukan.

“Silahkan Mas, bayar semuanya disitu.” Pegawaiku mempersilahkan dan menunjuk arah mejaku.
Laki-laki itu menghampiriku, ia membawa bunga yang sudah ia beli meletakannya dimejaku.
“Tolong dikirim ke alamat dan penerimanya ini ya, Mbak.” Ia menyerahkan secarik kertas berisi nama penerima dan alamat penerima.
Nama penerimanya... Wanita.
Pupus sudah harapanku.

“Baik, Mas. Totalnya, Rp.230.000,- Ada lagi yang bisa kami bantu?”
“Tidak, terimakasih.” Jawabnya sambil mengeluarkan uangnya dari dalam dompetnya.
Lalu kemudian ia keluar meninggalkan toko.

“Janet, tolong antarkan bunga ini ke alamat ini, ya!” Perintahku pada pegawaiku yang bertugas sebagai delivery barang.
“Baik, Mbak.”

*

Sepulang kuliah, kadang-kadang aku nongkrong di Caffe bersama sohib-sohibku. Sebagai pelepas penat dikepala setelah bertempur dengan materi-materi kuliah saja.
Bercanda tawa bersama teman-teman. Disitu kadang aku bisa sedikit melupakan rasa capekku.

Arlojiku sudah menunjukan pukul 16.30. Tidak terlalu sore untuk memutuskan pulang, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
Seperti biasa, aku menyempatkan diri mampir ke pusat tokoku.
Diperjalanan, entah mengapa aku merasa tidak enak perasaan. Gelisah rasanya.
Sampai pada akhirnya taxi yang membawaku berhenti didepan pusat tokoku...

Betapa kagetnya diriku, orang-orang sekitar sibuk memadamkan api yang menjalar.
Ya, tokoku kebakaran!

Aku berdiri terpaku dihadapan tokoku yang terbakar, beberapa pegawai juga ikut sibuk memdamkan api, ada pula beberapa yang hanya menangis menyaksikan kejadian ini.

Janet, pegawaiku yang menangis menghampiriku, ia berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
Aku hanya menganga masih tak percaya melihat apa yang ada dihadapanku sekarang. Air mataku tak tertahankan.
Seketika pandanganku kabur.

*

Aku membuka mata, semuanya terlihat putih. Tidak salah lagi, ini rumah sakit.
Ada Janet yang duduk disamping tempat tidurku, sepertinya ia menungguiku sejak tadi.

“Aku masih tak percaya ini terjadi, Janet! Semua aset, saham, dan dokumen-dokumen penting ada disana semua! Bagaimana dengan nasib bisnisku? Ya Allah, tolong akuuu..” Aku menangis.
“Ini semua musibah, Mbak. Sabarlah, semua pasti ada jalannya..” Janet berusaha menenangkanku.
Aku belum memberi tau Ibu. Jika ku beritau, pasti Ibu akan kaget, sedih dan khawatir. Aku tidak mau beliau sedih, aku tidak mau merepotkan beliau.

*

Sudah tiga hari aku dirawat dirumah sakit, Dokter bilang kondisi ku belum 100% pulih. Tentu saja, akupun masih punya beban pikiran atas pusat tokoku yang terbakar. Bagaimana bisa aku mengurus semua cabang tokoku, sementara aset, saham, dokumen, dan lain sebagainya yang penting ada semua di pusat toko dan semuanya habis terbakar?
Aku harus ekstra sabar. Ini ujian dari Allah.

Saat seperti ini, hanya ada beberapa teman-temanku saja yang mengirimiku pesan tanda ikut prihatin terhadap musibah yang aku alami atau hanya sekedar mengucapkan lekas sembuh padaku. Tak ada sedikitpun dari mereka yang menjengukku disini. Bahkan yang katanya ku anggap sohib-sohib yang biasa bersamakupun tidak sama sekali. Mereka seolah tak peduli padaku. Sekali lagi, aku mengucap syukur, atas kejadian ini aku tau siapa diri mereka sebenarnya. Merekalah yang hanya memanfaatkan kesuksesanku saja.

*

Gadis itu terbelalak kaget ketika membaca berita dilembaran pertama koran edisi hari ini, "Pusat toko Sasha Flowers Store Habis Terbakar".
“Ini kan, tokonya Sasha?”
Segera ia buru-buru mempersiapkan diri untuk pergi menuju kota tempat tinggal Sasha. Tujuan utamanya yaitu, pusat toko Sasha yang alamatnya sudah ia ketahui. Saat itu Sasha memberikan alamat pusat tokonya tersebut padanya melalui email.

Butuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai pada tujuan.
Saat sampai, benar saja, sudah tidak ada lagi toko dan objek-objek bunga cantik yang seperti ia lihat diwebsite resmi Sasha Flowers Store, yang ada hanya puing-puing sisa kebakaran yang seperti ia baca di koran.

“Permisi, Bu, saya mau nanya, yang punya toko ini sekarang tinggal dimana ya, apa Ibu tau?” Lesha mulai menanyakan keberadaan Sasha pada Ibu warteg yang tak jauh dari lokasi pusat toko Sasha yang terbakar.
“Oh, Neng Sasha? Alamatnya sih, saya kurang tau jelas. Tapi katanya sekarang ia lagi dirawat dirumah sakit gara-gara drop atas musibah kemarin, Mbak.” Jelas Ibu warteg tersebut.
“Begitu ya, Bu.. Ibu tau Sasha dirawat dimana?” Tanya Lesha lagi.
“Kata pegawainya sih, di RS umum, Mbak.”
“Oh, terimakasih banyak ya, Bu. Permisi..” Lesha-pun pergi meninggalkan warteg tersebut.
Berhubung nomor Sasha susah dihubungi, jadilah iapun susah melacak keberadaan Sasha.

Sesampai di rumah sakit, ia menanyakan pasien yang bernama Sasha, lalu suster menunjukan Sasha dirawat diruangan mana.

Dengan ragu Lesha mengetuk pintu kamar "Matahari 2" itu, tak lama ada seseorang yang membukakannya.
Janet.
“Maaf, Mbak, apa ini kamar dengan pasien yang bernama Sasha?” Tanya Lesha ragu-ragu.
“Iya benar, ada apa, ya, Mbak? Dan Mbak ini siapanya Mbak Sasha?” Tanya Janet.
“Boleh saya masuk, Mbak?” Lesha tidak menjawab pertanyaan Janet.
Dengan ragu Janet mempersilahkan Lesha masuk, “Oh.. Silahkan, Mbak.”

Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki kamar Matahari 2, ia terpaku ketika melihat sahabatnya terbaring lemah ditempat tidur.

“Sasha!” Segera Lesha berlari menghampiri Sasha dan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
Sasha tersentak kaget, dan menangis terharu membalas pelukan sahabatnya itu dengan erat.

*

Aku memandangi Lesha yang sedang membuatkan teh hangat untukku, wajahnya masih sama seperti terakhir kami bertemu beberapa tahun lalu, bahkan sekarang Lesha terlihat lebih bersih, jilbabnya masih setia menutupi kepalanya.
“Lesha, kamu tau dari mana aku ada disini?” Tanyaku pada Lesha.
“Aku baca berita dikoran soal musibah kebakaran pusat tokomu itu, Sha, aku langsung otw deh kesini, pas nyampe tokomu aku bingung nyari kamu kemana, nomormu gak ada yang bisa dihubungi, akhirnya aku tanya Ibu warteg deh, katanya kamu disini.” Jelas Lesha panjang lebar.
Aku tersenyum haru. “Makasih banyak, Lesh! Kamu udah bela-belain dateng kesini cuma buat jenguk aku, kamu memang sahabatku.”
“Sama-sama Sha.” Jawab Lesha sambil tersenyum dan menyajikan teh hangatnya dihadapanku.

“Ada yang datang, Mbak.” Ucap Janet.
“Siapa?” Tanyaku bingung.
“Saya kurang tau namanya, tapi saya hafal mukanya.” Jawab Janet.
“Suruh saja ia masuk,”
“Baik, Mbak.”

Seorang laki-laki tampan membawa bunga menghampiri.
Itukan...
Laki-laki yang kemarin membeli bunga ditokoku!

“Selamat siang, Mbak.” Sapanya ramah sambil tersenyum.
Aku mebalas senyumnya. “Siang,”
“Tadi saya mampir ke toko, Mbak, niatnya mau beli bunga, taunya...” Ucapannya terpotong. “Akhirnya saya memutuskan buat beli bunga dicabang tokonya saja. Ini, Mbak, saya kirim bunga khusus buat Mbak Sasha, saya ikut prihatin atas musibah yang menimpa pusat toko Mbak Sasha ya, dan segera sembuh, Mbak.” Ucapnya.

Ya Tuhan, so sweet sekali dia. Ya walaupun bunga yang ia beri ia dapat dari tokoku juga, haha.
Cukup, Sha! Dia sudah punya perempuan lain. Kemarin saja bunganya dikirim untuk perempuan itu.

“Terimakasih banyak, Mas.”
“Panggil aja, Revan, Mbak.” Sergahnya.
“Baik, Mas-Re-van.” Jawabku agak ragu.
“Revan.” Sergahnya lagi.
“Oke, Re-van.”
Ia tertawa melihatku berkata agak gagu.
“Oya, terimakasih ya, sepupuku katanya sangat suka sama bunganya yang saya beli kemarin di pusat toko Mbak Sasha, bunganya rapi dan bagus. Wangi bunganyapun maksimal, katanya. Hehehe..” Tiba-tiba ia bercerita.

Jadi, nama perempuan yang kemaren ia kirimi bunga itu bukan pacarnya? Melainkan sepupunya? Syukurlah.. *loh?*
Aku tersenyum sipu. “Sama-sama, Revan. Kamipun puas jika para pembeli puas.”
“Iya, Mbak, saya bakal jadi pelanggan setia Sasha Flowesr Store nih, kayanya.”
“Hehe terimakasih banyak, panggil Sasha aja.” Sergahku.
“Oke, Sa-sha.” Ia tak kalah ragu seperti saatku menyebutkan namanya tadi.
“Cieee...” Tiba-tiba Lesha dan Janet nyeletuk.
Aku tersipu (lagi) lalu kemudian kami tertawa bersama.

Saat seperti ini, aku sadar yang katanya ku anggap sohib-sohibku itu ternyata hanya memanfaatkanku saja. Memanfaatkan apa yang kupunya saja.
Saat seperti ini, aku lebih memilih tidak memiliki apa-apa tapi aku bersama dengan orang-orang yang tulus menyayangiku, dibanding aku memiliki segalanya tapi aku bersama dengan orang-orang yang palsu.
Terimakasih, Ya Allah, saat seperti ini, kau menunjukan siapa saja yang benar-benar menyayangiku dengan tulus.

***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar