Diberdayakan oleh Blogger.

Translate This Page

RSS

Tunggu, jangan dulu beranjak!


Jadi, aku hanya ingin bercerita.
Dulu,
Aku pernah jatuh karena seseorang.
Aku pernah sakit karena seseorang.
Aku pernah hancur karena seseorang.
Aku pernah kehabisan persediaan air mata karena seseorang.
Aku pernah bodoh karena seseorang.

*


Mungkin bukan karena, tapi demi. Ya, demi seseorang. Seseorang yang aku cintai.
Seorang laki-laki yang sampai saat ini masih dalam fase anak-anak, menurutku. Jika perkiraan ku salah, silahkan protes pada isi kepalaku.

Entah sudah berapa ratus kali aku berdebat dengan sahabatku. Aku membantah nasihat-nasihat dari mereka. Aku menutup diri dari omongan-omongan yang mengganggu fikiranku soal ini. Soal keinginanku, soal pilihanku, soal egoku. Aku tidak peduli. Tau apa mereka. Yang terpenting sekarang, aku bisa bersamanya.

Tapi perlu kalian ketahui, disini aku tidak sampai melakukan hal-hal gila yang diluar logika hanya karena kebodohan jatuh cinta. Namun menurutku, aku sudah melakukan hal diluar batas diriku yang cupu ini. Tidak peduli dengan ribuan orang diluar sana yang bahkan lebih gila dari diriku, yang jelas aku sudah melanggar limit diriku sendiri.
Disini, aku hanya masih membantah nasihat-nasihat dari orang-orang terdekatku.
Dan untukku, ini tidak bisa diterima.

Sampai masa dimana saat aku sedang jatuh-jatuhnya, saat aku sedang hancur-hancurnya, Tuhan yang Maha Baik mengijinkan aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, ia pergi bersama perempuan idaman pilihannya.

Jangan tanyakan bagaimana keadaanku. Kondisiku. Kondisi hatiku, kondisi fisikku, kondisi psikisku.
Aku tidak mendeskripsikan disini dirikulah yang paling tersakiti di dunia ini, dirikulah yang paling menderita di dunia ini. Tidak. Yang jelas, disini aku hanya menjadi paling menderita diantara keadaan-keadaan diriku yang lain, keadaan-keadaan diriku yang sebelumnya. Aku hanya sedang berada pada titik paling rendah di antara keadaan diriku sebelumnya. Itu saja.

Baiklah. Ku rasa cukup.
Cukup untuk berjuang, cukup untuk menyakiti diri sendiri, cukup untuk membodoh-bodohi diri dengan hal paling bodoh seperti ini.
Aku berhenti.
Berhenti berlari, berhenti terjatuh, berhenti menangis, berhenti untuknya.

Sampai fase dimana aku mulai berfikir, kemarin ku hanya mendapati masa Cinta Monyetku. Ku hanya sedang kesetanan, dan diriku tidak bisa menerima bahwa aku sedang jatuh-hatuhnya karena cinta. Cinta monyet. Ku pikir aku yang berlebihan sampai-sampai diriku menjadi diluar kontrolku. Ku rasa hanya itu, tak ada lagi yang lain.

Aku mulai membalas dendam pada fase burukku kemarin.
Aku mulai menata kehidupanku, mulai lagi mengatur waktuku dengan hal-hal positif, mulai lagi bersahabat dengan keadaan normalku. Keadaan yang semestinya.
Karena aku sadar, dengan setuju atau tidak setujunya diriku pada situasi, matahari akan tetap terbit dari timur dan terbenam dibarat. Angin akan terus menghembuskan desirnya, ombak dilautan akan terus bergelombang, dan laut mati akan tetap tak bergeming. Serta yang paling penting, bumi akan tetap berputar pada porosnya.

Dan disini, hanya tinggal diriku bagaimana caranya mengikuti semua proses itu. Apakah akan disertai dengan hal baik atau hal buruk?
Baiklah, ku putuskan memilih yang baik.

Aku mulai mengejar kembali cita-citaku yang sempat terbengkalai.
Dalam bidang akademik, non akademik, bahkan agamis.
Ku perbaiki segalanya.

Dalam proses ini, banyak capaian-capaian yang telah diriku raih. Tidak mudah memang.
Jatuh dan bangun.
Menang dan kalah.
Bahagia dan sedih.

Dalam proses ini, aku sedikit berhasil menempatkan diriku pada yang seharusnya.
Aku banyak mengikuti organisasi, komunitas, dan tim olahraga sekalipun.
Aku berhasil. Berhasil keluar dari zona setan yang membelengguku. Jatuh cinta pada orang yang salah. Cinta monyet.

Sesekali aku tidak jarang sedikit berfikir, jika memang benar ini Cinta Monyet, mengapa sampai saat ini rasa yang ku sebut perasaan setan ini tidak mau pergi dari dalam lubuk hatiku? Bahkan dari kehidupanku. Ia seperti seolah-olah aku yang mengemis untuk memintanya tetap terlibat dalam hal sekecil apapun dihidupku.

Tapi itu hanya sesekali saja, tidak pernah ku pikirkan lebih jauh. Dan ku rasa tidak penting juga. Untuk apa? Masih banyak hal positif yang bisa ku kerjakan daripada hanya mengingat orang yang bisanya hanya membuatku terjatuh dan tersesat, sedangkan ia tidak pernah menyadari perbuatannya.
Tidak apa-apasih sebenarnya, aku jadi punya sesuatu untuk ditertawakan sekarang, atau bahkan nanti Ya, aku yang bodoh karena cinta monyet. Haha. Lucu. Sangat lucu. Pantas sekali untuk ku tertawakan sekarang.

Proses positif itu terus berlanjut sampai bertahun-tahun. Sampai aku mendapati diriku memasuki masa dewasa, bukan lagi remaja apalagi anak-anak.
Bahkan aku lupa bahwa aku pernah punya masa lalu buruk dengan orang Cinta monyet  yang berhasil sukses menjatuhkanku.

Sampai tiba disuatu waktu, orang itu datang lagi dalam kehidupanku. Kabar baiknya, aku masih belum mengingat bahwa ia yang pernah menjatuhkanku. Merusak perasaan suciku yang kemudian ku sebut menjadi perasaan setan. Sehingga semuanya masih baik-baik saja, aku masih terus melakukan proses positifku menjadi seorang insan yang sesungguhnya.
Aku masih bertemu dengan orang-orang baik yang ingin ku temui, aku masih bertemu dengan hal-hal menyenangkan yang ingin ku kerjakan, dan aku juga masih hidup normal diantara mereka.
Aku bahagia. Aku bersyukur.
Kemarin, Tuhan menjatuhkanku sejatuh-jatuhnya, dan sekarang Tuhan membayarnya dengan membantuku untuk mencapai puncaknya.

Sampai fase dimana semuanya tidak lagi baik-baik saja, tepatnya sudah berusia enam tahun dari masa terburukku kemarin, aku berproses, berkembang untuk menjadi lebih baik dari diriku yang sebelumnya, terus dan terus.
Hanya dengan sebuah ketidak sengajaan mengharuskanku bertemu lagi dengannya.
Orang itu datang lagi. Bukan, bukan hanya sekedar datang sama seperti sebelumnya, tapi kali ini terlibat. Ia kembali terlibat lagi dalam hidupku.
Aku bertemu lagi dengan sisi perasaan setanku. Perasaan yang sudah menjatuhkanku, menghancurkanku. Kemarin.

Ia kembali berperan dalam hidupku, kembali membuat memori lagi. Memori yang kurasa tidak mudah untuk dilupakan untuk ukuran manusia pada umumnya. Apalagi manusia dibawah rata-rata sepertiku. Lucu memang.

Ku rasa, ia berhasil memanfaatkan sikap memaafkanku untuk berdamai dengan keadaan, sehingga ia mendapat celah untuk kembali berperan dalam hidupku.
Atau hanya pertahanan diriku saja yang lemah sampai-sampai hanya karena –orang- yang membuat perasaan setan itu, aku sampai kalah? Entahlah.
Aku terjatuh lagi. Aku jatuh cinta lagi pada manusia itu. Ya, manusia yang sudah merusak perasaan suciku pada masa cinta monyetku.

Enam tahun aku berproses.
Enam tahun aku memperbaiki diri.
Enam tahun aku jatuh bangun demi mempertahankan hidup positifku.
Enam tahun banyak hal yang mengganggu proses baikku yang berhasil ku singkirkan.
Enam tahun tak jarang hujan dan badai menyerangku.
Enam tahun aku mengalami penghianatan dan dihianati.
Enam tahun aku mengalami proses kegagalan dan digagali.
Sampai akhirnya, enam tahun juga aku berhasil melewati semua proses itu.

Semua ini tidak lepas dari bantuan Tuhan dan orang-orang disekitarku yang menyayangiku.

Sekarang aku tanya,
Bagaimana proses mu selama enam tahun tanpa adanya keterlibatan aku dalam hidupmu lagi?
Apa kamu sudah merasa gagah sampai-sampai kamu melakukan semua ini?
Apa kamu sudah merasa hebat saat ada orang -aku- yang secara langsung atau tidak langsung memperjuangkanmu?
Apa kamu sudah merasa hebat saat kamu menang dalam soal mempermainkan hati?
Apa kamu sudah hebat? Hah?
Apa kamu sudah merasa hebat saat ada hati wanita yang memutuskan untuk mengalah pada logika hanya karena untukmu?
Apa kamu sudah merasa gagah? Hah?
Tidak sama sekali, Tuan. Kamu sama sekali tidak terlihat gagah apalagi hebat.


Ku kira,
Selama enam tahun kita berpisah, kamu akan menjadi seseorang yang lebih bijaksana lagi.
Ku kira, selama enam tahun aku tidak terlibat atau melibatkan diri dalam hidupmu, kamu telah menemukan hidup yang jauh lebih baik lagi sampai-sampai bisa merubah dirimu setidaknya berbeda atau naik satu level diatas dari dirimu yang kemarin ada aku.
Ku kira, selama enam tahun kita membara dengan jalan hidup yang kita pilih masing-masing, itu akan membuat kita -aku dan kamu- berdamai dikemudian waktunya.
Tapi ternyata tidak.


 Selama enam tahun,
Kamu masih dengan dirimu yang dulu.
Dirimu yang selalu bangga akan fikiran-fikiran sempitmu.
Dirimu yang selalu merasa hebat atas semua keputusan yang kamu ambil dengan merugikan sebelah pihak.
Dirimu yang selalu tidak peduli pada fikiran dan perasaan manusia lain atas tindakan yang kamu ambil.
Dirimu yang selalu meletakan ego diri di level yang paling atas.
Dirimu yang mati, hatimu yang mati, jiwamu yang mati, serta ragamu yang masih hidup.
Dirimu masih sama seperti enam tahun lalu yang aku kenal. Ya seperti itu.

Tunggu, jangan dulu beranjak!
Sebenarnya, aku tidak pernah menuntut dirimu untuk menjadi seperti yang aku mau.
Aku tidak pernah menuntut dirimu untuk menjadi seperti yang aku pinta.
Aku juga tidak bisa memaksakan kehendakku pada dirimu.

Apalagi untuk menyalahkanmu. Sama sekali tidak terlintas secuilpun dalam benakku aku bermaksud untuk kesitu.
Karena jelas saja, itu semua bukan wewenangku. Bukan ranahku untuk mengontrol hati dan fikiranmu. Aku bukanlah Tuhan yang Maha Benar.

Apa aku salah, jika aku hanya menyanggah perkataan seseorang yang dilontarkan untukku? Apa aku salah, jika aku hanya protes pada sikap seseorang yang ditujukan padaku? Apa aku salah, jika aku hanya menyaring hal-hal yang menurutku pantas untuk aku dapatkan?
Apa aku salah?


Mungkin aku yang terlalu awam, terlalu bodoh, dan terlalu cemen.
Buktinya, hanya soal sepele untuk memahami apa yang ada didalam isi hati dan isi kepalamu saja aku tidak mampu.


Ku bilang tunggu, jangan dulu beranjak!
Mungkin aku yang masih kurang baik.
Mungkin aku yang masih kurang menarik.
Mungkin aku yang masih kurang berusaha.
Mungkin aku y ang masih kurang keras.
Mungkin aku yang masih kurang berproses.
Mungkin aku yang masih kurang berjuang.
Mungkin keringatku yang masih jauh dari kata berdarah-darah.
Mungkin aku yang masih menjadi pengecut saat berada pada proses menjalani hidup untuk menjadi lebih baik.
Mungkin aku juga yang selama ini kurang pandai merayu Tuhan.
Sampai-sampai aku masih harus bertemu dengan seseorang seperti dirimu. Bahkan mengenal, bahkan menyukai, bahkan jatuh cinta.


Entah apa yang ada dalam dibalik semua ini.
Sekali lagi, entah apa yang ada didalam isi hati dan isi kepalamu.
Mungkin ada sesuatu yang bahkan tak cukup untuk kamu ceritakan atau jelaskan pada diriku. Karena jelas, aku tidak akan pernah mampu memahaminya.

Maafkanlah aku jika soal ini, soal kekurangan diriku yang tidak dapat diterima apalagi di maklumi.


Aku juga sadar diri, memangnya siapa aku?
Hehe. Tenang saja, akupun sadar diri.
Setidaknya aku juga punya rasa tahu diri. Apalagi harga diri. Tenang, tak usah khawatir. Jika soal ini, aku juga sudah paham. Walaupun aku bukan ahlinya.

Kamu tidak tahu, sejauh mana berjuangnya aku menjadi yang terbaik dari hal-hal yang paling burukku.
Kamu juga tidak tahu, sudah banyak orang yang aku tinggalkan hanya karena aku khawatir itu hanya akan menganggu prosesku dalam menata hidupku untuk menjadi lebih baik.
Dan, kamu tidak pernah tahu. Bahkan tidak pernah mau tahu.

Aku selalu berusaha menjadi versi terbaikku dan menutupi versi terburukku dalam berbagai situasi dan kondisi.
Aku selalu berusaha bersahabat, berkompromi dan berdamai bahkan dalam dan dengan keadaan yang jahat sekalipun.
Karena percuma, untuk hanya sekedar menunjukan pada dunia agar mendapat belas kasihanpun, justru dunia juga tidak akan pernah peduli. Dan hanya akan memperburuk situasi.
Sehingga aku berfikir, cukup aku dan Tuhan saja yang tahu soal ini.

Karena aku juga sadar, dunia tidak akan selamanya berpihak pada diriku. Apalagi aku hanya seorang pecundang dari rentetan orang-orang hebat pilihan.
Jadi ku rasa, itu hanya angan-angan ku yang terlalu tinggi, yang cukup lucu untuk ditertawakan.


Ya, memang, selama ini bukan dirimu yang terang-terangan melakukan semua itu.
Bukan dirimu yang jelas-jelas menegaskan semua itu secara langsung.
Sudah kuduga, kamu tidak pernah mau sadar.
Secara tidak langsung semua itu mengandung artian dan makna yang sudah ku jelaskan panjang lebar tadi.


Ya, memang. Aku yang terlalu berlebihan.
Aku yang terlalu mendramatisir.
Aku yang terlalu memaksakan.


Tapi tidak apa-apa, setidaknya selama enam tahun ini aku mendapat pelajaran berharga dari dirimu, yang menjadi salah satu faktor yang membantuku untuk berproses menjadi diriku yang lebih baik lagi, diriku yang lebih berkelas, dan diriku yang lebih berkualitas.

Setidaknya selama enam tahun ini aku melatih diriku dari apa yang ku dapatkan dari dirimu.                            

Terimakasih.
Sampai bertemu di enam tahun, enam windu, enam abad selanjutnya. Yang jelas, ku harap lebih baik dari situasi dan kondisi dari ‘enam tahun yang sekarang’.


*** 

Labuan, Akhir Januari dengan musim hujannya sampai Awal Februari yang kayanya cakung terus, 2018.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar