Diberdayakan oleh Blogger.

Translate This Page

RSS

Be Better to be a 'Best Friend' - A Short Story Real By Me


Entah sebegitu banyak lamanya waktu kita berpisah, namun sebegitu banyak dan besarnya juga aku -masih- menyimpan rasa untukmu meski kini kita tak lagi bersama. Jika dihitung, mungkin sudah sekitar 2 tahun lebih kita break up dari hubungan -yang katanya- pacaran itu yang belangsung sangat singkat. Sangatlah. Memang benar begitu adanya.
Dengan tiba-tiba kita memutuskan untuk putus demi kebaikan kita berdua juga. Baiklah, aku mulai baper...

Aku tak mengharapkanmu kembali menjadi kekasihku, juga akupun tak ingin lagi terlalu mendekat.
Namun, seperti yang aku katakan tadi, entah mengapa sepertinya aku masih menyimpan sejuta rasa untukmu. Rasa sayang, atau bahkan... Cinta?
Entahlah.

Hey, stop!
Aku bahkan tau bahwa kau telah memiliki kekasih baru. Bagaimana aku bisa tau? Jelaslah, aku masih suka kepo tentang dirimu. Baiklah, kali ini aku mengaku ><

Hey, Gio!
Aku masih menyayangimu. Stop! Rara, cukup! Dia sudah punya kekasih (lagi). Ingat itu.


Seperti hari ini, sekolah ku mengadakan outbond ke daerah puncak. Senang rasanya bisa menikmati suasana indah nan sejuk yang jauh dari polusi udara kota tempat tinggalku.

Setelah selesai mendirikan tenda dengan teman-teman kelompokku, kami bersantai ria sambil mengambil foto selfie. Jelas saja. Prinsip kita Selfie Everywhere. Haha.

Hey!
Kemana Gio? Aku tak melihatnya sejak pemasangan tenda tadi.

"Nad, Nad... Lo liat Gio?" Tanyaku berbisik pada teman sekelompokku, yang memang ia sudah tau soal ketidakbisamove-onanku dari Gio.
"Gak tau, gua gak liat dia dari tadi." Jawabnya.
Hmmm... Aku tidak puas dengan jawaban Nadin.

Tak lama selang beberapa waktu...
“Ra, tuh Gio.” Tunjuk Nadin dengan dagunya pada suatu arah.
Spontan aku menoleh ke arah yang ditunjuk Nadin tadi. Terlihat seseorang yang ku cari tadi keberadannya sedang berbincang-bincang dengan temannya didepan tenda kelompoknya.

Baiklah, sekarang aku merasa aman. Aku sudah tau posisinya dimana saja sudah membuat kesemangatan dan kenyamanan tersendiri. Pfttt...

Gio? Kapan ya, aku bisa move on dari kamu? Huft.

“Untuk semua peserta, harap bersiap-siap untuk melakukan kegiatan outbond hari pertama. Diberi waktu 15 menit untuk mempersiapkan diri...” Terdengar pengumuman dari instruktur acara dari toanya.

“Ayo teman-teman, kita harus udah siap!” Ucapku.
"Iye ah, bawel lo..." Jawab Gea.
"Yeee, nyebelin." Sanggahku.

Tidak sampai 5 menit, aku dan diriku sudah siap untuk bertempur.
Beda dengan anggota kelompokku yang lain, mereka masih sibuk dengan make upnya, apalagi dengan... Huftttt... Sheryn. Terlihat ia sedang memakaikan masakara pada bulu matanya.

"Eh kupret! Lu mau outbond apa mau manggung?" Aku menepuk pundak Sheryn.
"Diem ah, nyet! Gua kan mesti tetep tampil cantik." Jawabnya cuek sambil masih memakaikan masakara pada bulu matanya didepan cermin kecil.
Aku berjalan sedikit menjauh dari tenda kelompokku.

"Hai, Rara!" Sapa seseorang dari arah belakangku.
"Eh...hai..." Jawabku agak sedikit tercengang. Gio!
Terlihat ia membawa 2 buah es krim ditangan kanan dan kirinya "Mau es krim?" Ia menawariku es krim yang berada ditangan kanannya.
“Eh...oh...boleh...” Jawabku terbata. Dengan sedikit ragu aku mengambil eskrim yang ada ditangan kanan Gio.
“Makasih ya, kamu tau aja kalo aku emang lagi pengen makan es krim. :D” Ujarku.
“Haha :D iya sama-sama, tadi aku beli 2 es krim dan gak tau yang satunya buat siapa, kebetulan liat lo lagi bengong, jadi gua tawarin kamu aja, deh. :D” Jawabnya menjelaskan sambil tertawa.
Huft. Ternyata kebetulan dan terpaksa ya? Kecewa.
Hey! Bagaimana bisa ia mendapatkan sebuah es krim? Sedangkan ini daerah puncak, bro.

"Ya biar nanti outbondnya tambah semangat aja, hahaha.." Lanjutnya.
"Duh, bisa aja nih kacrut." Jawabku sambil mencubit lengannya. "Btw, kamu dapet es krim ini dari mana?" Tanyaku.
"Yaelah, Ra! Disini gak jauh-jauh bgt dari perkampungan kok, jadi ya bisa aja kan, abang es krimnya mampir kesini." Jelasnya (lagi)
"Oh..." Aku manggut-manggut.
"Ternyata lugu-nya masih gak ilang juga, ya.. Hahaha." Gio menoel  daguku. Mulai menggodaku. Kebiasaan lamanya sejak...ah sudahlah, lupakan.
Kami tertawa renyah bersama. Memang indah rasanya.

“Ra...” Gio berbisik, tangan kananya mengarah kewajahku, membersihkan remotan es krim yang berada disekitar mulutku.
Dia menatapku begitu dalam. Aku terenyuh.
"Ternyata, sorot mata kamu masih memancarkan sinarnya, ya..." Ucap Gio lirih.

Aku langsung tersipu, dan memalingkan wajahku. Tiba-tiba ingatanku langsung terbayang ketika dulu kita pertama kali saling mengenal, Gio berkata padaku bahwa ia menyukai sorot mata coklatku yang indah.

“Ayo, ayo! Para peserta diharapkan kumpul, waktu persiapan sudah habis.” Lagi-lagi suara yang berasal dari toa itu terdengar.

Kami langsung 'kaget' serentak dan mulai membuang pandangan.
“Gio, aku ke temen-temenku dulu, ya! Makasih, loh es krimnya,” Ujarku sambil berlari kecil menuju teman-temanku yang sudah membariskan diri dilapangan sekitar tenda.

Gio tersenyum.

*


Jadwal kegiatan outbond saat ini adalah Arung Jeram dengan anggota kelompok masing-masing, tentu tiap perahu arung jeram didampingi oleh seorang ahlinya.

"Yeee, bagian kita naik." Sheryn berseru. Tuh anak lebanya gak tau tempat ya emang.
"Gak usah drama, nyet!" Lesha menoyor pala Sheryn.

Kami semua memasang helm dan pelampung pada masing-masing badan. Dan siap menaiki perahu.

Tiba-tiba...

"Rara awaaassss!!!" Teriak seseorang.

Hap! Tepat aku jatuh dipelukannya. Gio! Lagi-lagi.
Ia yang berdiri tak jauh dari tempatku dengan sigap menangkapku yang hampir saja terpeleset jatuh karna batu licin yang ku injak.

"Cieeee..." Semua yang ada disitu langsung mengalihkan pandangan ke arah kami dan mencie-ciekan kami.
"Awas, awas baperrr.." Celetuk salah seorang dari mereka.
Aku langsung beranjak dan berjalan menuju perahu kami.
“Thanks!” Ucapku sedikit tersenyum tipis dan tersipu.
Gio membalas dengan senyuman khasnya.

*
Brukkk

Aku membantingkan badanku diatas kasur.
Cukup melelahkan! 2 hari ber-outbond ria ternyata bisa membuat badanku hampir remuk.

"Rara.." Terdengar suara Mama diambang pintu.
Tangannya menampek sebuah tampan berisikan segelas susu coklat hangat.
Mama memang paling pengertian.

"Ini nak, minum dulu susunya sedikit menghilangkan rasa lelah." Aku beranjak, dan mengambil gelas berisikan susu coklat hangat tersebut.

"Makasih, Mama." Aku tersenyum.

"Oke, jangan lupa mandi ya, selesai mandi Mama dan Papa tunggu diruang makan." Ucap Mama seraya meninggalkanku.

"Siappp, Ma!"

Drrttt drttt...

Handphone ku bergetar.
Hah? Ada apa? Tumben sekali Gio menelfonku. Ada apakah gerangan? Gio kan, sudah punya pacar. Ngapain dia masih hubungin aku segala?

Lama aku berpikir untuk mengangkat atau tidak telfon dari Gio.
Namun pada akhirnya aku mengangkat telfonnya juga.

"Ha..hallo..." Sapaku terbata.
"Hallo, Rara.."
"Iya, Gio, ada apa? Kok tumben?" Tanyaku langsung to the point.
"Hmmm... Emang gak boleh ya, aku telfon kamu?" Tanya nya balik.
"Hehe, ngga gitu juga."
"Hahaha, Rara! Boleh gak aku minta kamu buat temenin aku di pertandingan hari sabtu besok?" Tanya Gio.

Deg.

"Sabtu besok?"
"Iya, maksudnya sabtu minggu depan." Jelas Gio.
"Masa iya kamu minta aku buat temenin kamu? Lah Sheilla?"
"Stop Ra, aku lagi gak mau bahas Sheilla!"
"Loh? Sheilla kan, pacar kamu." Jawabku heran.
"Sheilla diluar kota, dan aku lagi ada sedikit problem sama dia."
"Oh, jadi ceritanya aku pelampiasan, nih? Hmmm..."
"Ya gak gitu juga, Ra. Pokoknya kamu mau ngga, deh?"
"Kalo aku gak mau?" Pancingku.
"Yahhh..." Nada Gio terdengar sedikit kecewa.
“Haha yaudah iya boleh deh, lagian kebetulan sabtu besok aku lagi gak ada latihan jadi free time deh.” Jawabku.
“Serius??? Yeayyy makasih ya, Rarakuuu!” Gio berteriak-teriak tak jelas diseberang sana. Terasa sekali bahwa ia sangat senang dengan jawabanku dari permintaannya.
Btw, kok gak latihan?” Tanya nya tiba-tiba.
“Iya, Coachku lagi keluar kota juga sama keluarganya. Jadi kita libur latihan dulu.” Jawabku menjelaskan.
“Oh begitu... Oke Ra, sekali lagi makasih ya, nanti aku telfon lagi." Potong Gio.
“Oke sama-sama..”

Klik. Telfon ditutup.

Yap! Benar. Aku dan Gio sama-sama seorang atlet. Hanya beda cabang.
Gio bulutangkis, dan aku... Aku apa ya? Hahaha, aku atletik. Cukup mengimbangi lah. Satu cabang permainan, satu cabang kebugaran.
Stop! Itu dulu, sekarang aku udah bukan siapa-siapanya. Hanya sebatas teman, itu saja.

Drrtt.. Drt...

Ponselku bergetar kembali.
Coach! Ada apa beliau menelfon?

"Hallo, Coach?" Sapaku.
"Hallo Rara,  latihan, ya. Saya tunggu kamu di lapangan. Sekarang."
"Loh, Coach? Kok dadakan banget? Bukannya libur?" Tanyaku heran.
"Iya, saya gak jadi keluar kota hari ini, mungkin besok saya berangkat, jadi hari ini kita masih bisa latihan untuk persiapan pertandingan beberapa waktu lagi. Lumayan, manfaatkan waktu." Ujar Coach.
"Baik, Coach kalau begitu. Aku siap-siap dulu. Nanti aku langsung meluncur ke tempat latihan."
"Oke, saya tunggu."

Aku bergegas mempersiapkan diri.

Kaos, celana, kaos kaki, sepatu, botol air minum... Sip! Selesai.
Terakhir aku membalut lutut kananku dengan pembalut lutut untuk menghindari gerakan berlebihan dilutut kanan.
Ya, lutut kananku kena -sedikit- cedera. Saat itu seperti biasa aku sedang melakukan latihan lari sprint. Entah bagaimana tadinya tiba-tiba aku merasakan sakit yang teramat dilutut kananku dan seketika itupun aku jatuh tersungkur ke tanah.
Semua orang yang berada disitu langsung menghampiriku dan membopongku ke tepi arena.
Setelah diperiksa oleh tim medis, memang benar dilututku ternyata ada sedikit gesekan antara sendi yang menyebabkan sakit dilutut ku.

Hffftt. Parahnya lagi, cideraku ini kumatanJadi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati ketika latihan.

Aku berangkat menuju tempat latihan dengan diantar Pak Jaja, supir pribadiku.

“Bersedia! Siaaaap! Mulai!!!” Coach memberikan aba-aba dan terakhir meniup peluitnya, sambil memegang stop watch.

Wusssss!
Seketika aku lari begitu cepat bagaikan seekor burung yang dilepas dari kandangnya. Hey! Itu terbang, Rara!
Peduli amat. Aku hanya ingin bercerita sesuka hatiku.

Dan, aku berhasil mencapai garis finish.

“31,5 detik. Cukup bagus, ada peningkatan dari latihan kemarin.” Ujar Coach.
“Ya Coach, syukurlah. Boleh aku istirahat sebentar? Aku capek banget, nih.”
“Hahaha, boleh lah, Rara. Silahkan..” Jawab Coach sambil tertawa.

Aku berjalan menuju sisi arena dan meneguk air mineral yang ada dibotol tempat air minumku.
Tak sengaja ku memandang kakiku, halah... Makin besar saja paha dan betisku ini >_<
Tapi tak apa.
Ma, Pa, A, dari hasil latihan ini, aku akan pulang bawa trophy di Kejuaraan Nasional –Kejurnas- bulan depan. Dan bikin kalian bangga. Janji!

*

“Ra, kamu bisa, kan siang ini?” Tanya Gio lagi menghampiriku ketika pulang sekolah.
“Bisa gak, yaaa...” Jawabku dengan nada menggoda.
Gio memasang ekspresi manyun.
“Hahaha, bisa kok bisa. Yaudah sekarang aku pulang dulu ya mau prepare. 15 menit lagi aku ada didepan GOR, deh.” Jawabku.
“Hah? 15 menit?” Tanya Gio keheranan.
“Kenapa? Aneh? Hahaha, yaudah bye,”
“Eeeh, Rara! Mau aku anterin?” Teriak Gio.
“Gak usah, aku naik abang go*ek aja, byeeee.” Jawabku seraya menaiki boncengan abang go*ek.
*

“Itu tuh, Pak, Gio didepan.” Ujarku pada Pak Jaja. 
Mobil berhenti menghampiri Gio, dan yang lainnya.

Tinnn tinnn..

“Tunggu ya, Pak.”
Segera aku turun dari mobil dan menghampiri Gio.

“Hai,” Sapaku.
“Eh, hai, Rara. Aku kira kamu gak bakal dateng. Hahaha,” ujar Gio.
“Haha, datenglah pasti. Bener kan, 15 menit?”
Hmmm,” Gumam Gio sambil melirik arlojinya. “Ngga tuh, lebih 2 menit 3 detik.” Lanjut Gio.
“Yaelah dikit doang.”
“Hahaha okelah.” Jawab Gio sambil tertawa.
Btw, kamu main disektor apa?”
“Tunggal putra dan ganda putra. Do'ain menang ya..” Jawab Gio.
“Oh gitu, okay  semangaaat Gio!!” Ucapku sambil menepuk tangan.
“Oke, makasih banyak ya, Ra, kamu udah mau nemenin dan dukung aku di kesekian kalinya pertandingan. Makasihhh banyak banget.” Ucap Gio.
“Hehehe iya slow aja Gi, aku agak gak enak juga sama Sheilla.” Kataku datar.
“Udah, gak usah difikirin, Sheilla gak ada disini kali.”
“Gio!” Ucap seorang laki-laki sebaya Gio menghampiri kami.
“Eh bro, kenalin nih, Devina.” Kata Gio seraya memperkenalkan diriku pada laki-laki tersebut.
“Rara, ini Gemmy, partner  ku di ganda putra.”
“Oh, Hai.. Panggil aja Rara.” Ucapku memperkenalkan diri dan bersalaman dengan Gemmy.
“Gemmy.” Ucapnya sambil menjabat tanganku dengan ramah dan tersenyum.
“Cewek baru lagi aja.” Celetuk Gemmy.
“Haha, bukan, bro. Ini gebetan gua. Hahaha.” Jawab Gio seenaknya.
Aku mencubit pinggang Gio. “Gio! Apaansih.”
“Hahaha,” Gemmy pun tertawa.

“Gio! Gemmy! Ayo buruan naik! Kita berangkat sekarang.” Ujar salah seorang Bapak yang sepertinya ini adalah coachnya Gio.

“Rara, kamu mau bareng aku di bus atlet atau?...” Tanya Gio.
“Nggg...gak usah. Aku dianter Pak Jaja aja.” Jawabku.
“Okedeh, tau kan, tempatnya?” Tanya Gio memastikan.
“Tau kok, tau.”
“Atau nanti aku watsapp-in lagi alamatnya, ya. Bye.” Ujar Gio terburu-buru.
“Gio!”
“Iya, Ra?” Jawab Gio menoleh kembali kebelakang.
Aku menunjuk tangannya yang masih memegang tanganku dengan mengisyaratkannya dengan mataku.
“Eh..oh.. Sorry...” Gio cengegesan. Dan segera melepaskan genggamannya dan pergi.
Aku tersenyum.
Aku berjalan menaiki mobil ku, membuka sedikit kaca jendela mobilnya, dan melihat Gio melambaikan tangan dikaca bus.
Aku mengepalkan tangan. “Semangat!” Ucapku pada Gio.
Bus mulai melaju membawa para atlet hebat PB Labone menuju kejuaraan.

*

Aku tidak tau, alur apa yang sebenernya sedang melaju. Gio mantanku, mantan kekasihku, namun ia sahabatku juga. Sebelum pacaran, memang kami sudah menjalin hubungan pertemanan yang sangat dekat, lalu tumbuh benih-benih cinta diantara kami. Ku kira hanya diriku saja yang memendam rasa untuk Gio, ternyata Gio juga memendam rasa yang sama untukku. Tiba pada suatu hari, Gio mengutarakan perasannya. Cukup lama kami menjalin hubungan, bahkan Mama, Papa, Coach, dan yang lainnya tau akan hal ini. Hubungan kami cukup terbuka.
Hingga sampai pada hari itu tiba, ada sedikit problem yang mengharuskan kami mengakhiri hubungan berpacaran ini.
Namun, saat sudah tak menjalin hubungan berpacaranpun, kami masih sering bersama-sama dan bahkan kami bertingkah dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami.
Dengan posisi Sheilla, kekasih Gio yang beda jarak -jauh- malah membuat kami semakin dekat tanpa takut-takut akan dilabrak oleh Sheilla.
Dan jujur, hingga saat ini, aku masih menyimpan sejuta rasa yang sama untuk Gio, mantan kekasihku.

*

“Ayo Gioooo! Semangattt!” Aku berteriak-teriak menyemangati Gio dari pinggir lapangan.
Ya. Gio sedang bertanding dilapangan.

“20 match point, 19” Wasit berkata.
“Ayo, Giooo! Hajar aja! Satu pont lagiiii! Yeee...” Tak henti-hentinya aku meneriakkan Gio.
“21 - 19. Game ini dimenangkan oleh Gio Gerraldo PB. Labone, 21-15, 21-19”. Wasit mengumumkan lagi.
Yap. Gio menang, setelah di game pertama ia juga menang dengan skors 21-15. Alhamdulillah, thanks Allah!

“Yeee! Huuuu! Gio menang!!!”

Setelah menyalami wasit dan Coach, Gio berjalan menuju arahku.
Dia menghampiriku yang duduk dikursi penonton paling atas.
Wajahku langsung exited menyambutnya.
“Gio! Selamat, ya! Kamu hebat.” Aku langsung menyalami Gio.
Thanks, Ra. Makasih juga ya kamu udah dateng kesini. Aku nambah semangat, deh. Hahaha.” Ia merangkulku, kami tertawa.

Tiba-tiba ponsel Gio berbunyi.
“Bentar,” Gio mengambil ponselnya yang berada dalam tas raketnya, lalu mengangkat telfonya.

“Eh, hai, sayang..”

Tak salah lagi. Sheilla. Pasti Sheilla yang menelfon.

“Alhamdulillah nih, aku menang.”
“Oh, gapapa, gapapa. Kamu beresin aja dulu urusan kamu, ya. Kalo sempet, baru kamu dateng kesini buat dukung aku. Hehe”
“Iyaya, aku maafin.”
“Nanti aku main lagi disektor ganda putra.”
“Okay, I miss you so bad, babe.”
“Byee...”

Begitulah yang kudengar saat Gio menelfon.

Cemburu? Dikit, sih.

“Maaf ya, hehe.” Gio melanjutkan pembicaraannya denganku.
“Oya, besok kamu latihan?” Tanyanya.
“Iya, besok aku latihan. Maaf ya, besok aku gabisa nonton kamu main. Bentar lagi aku ada Kejurnas, jadi harus latihan ketat.” Jawabku berusaha menjelaskan.
“Oh, gapapa. Kalo bisa mah, besok giliran aku yang nemenin kamu latihan.”
“Gak usah, besok kan, kamu masih harus tanding.”
“Iya, sih. Hehe..” Jawab Gio. Sadar tak sadar, sekarang tangan Gio sedang menggenggam tanganku.
“Gio.” Ucapku datar. Lalu aku tersenyum.
Sepertinya Gio mengerti. Ia malah mempererat genggamannya.
Semakin membuat jantungku berdegup kencang.

“Ngg... Gio, aku pamit dulu, ya. Udah sore. Barusan Pak Jaja juga sms katanya dia udah di parkiran jemput aku.”

“Yahh.. Yaudah deh, be careful, ya..”
Okay,” aku berjalan keluar gedung.
“Rara!” Gio memanggilku.
Aku membalikan badan.
“Thanks for everything.” Ucap Gio.
Aku tersenyum. Entah apa maksudnya.

*

“Maaf, Coach! Aku telat.” Aku berlari tergopoh-gopoh menghampiri Coach yang sepertinya sudah menungguku dari tadi ditepi arena.
Coach hanya geleng-geleng.
“Rara,sekitar seminggu lagi KEJURNAS akan segera dilaksanakan. Latihannya jangan main-main, ya! Saya sudah liat kemajuan kamu setiap harinya. Lebih ditingkatkan lagi!” Ujar Coach saat evaluasi.
“Siap, coach!”

*

Hari pertandingan tiba.
Aku, Coach, dan asistennya yang sedang berdiri disampingnya sudah berada di sekitar arena lari.

Banyak lawan-lawanku sudah hadir disini. Sebagian ada yang sedang melakukan stratching.
Tak bisa ku pungkiri, aku nervous!
Sepertinya lawan-lawanku lebih hebat dariku, dan aku akan kalah oleh mereka.

Tidak.
Lo gak usah cemen, Rara!
Semangat!

“Bersedia! Siaaap... Mulai!” Wasit memberikan aba-aba. Dan... Wussss!
Kami berlari secepat kilat.
“Ayo, Rara.. Rara...”
“Ayoo...”

Beberapa tepukan dan teriakan penonton begitu riuh.

Sejauh ini, aku berhasil berada diposisi lari paling depan. Harus lebih cepat lagi.
Arghhh... Lututku. Sakit sekali. Kenapa cidera ini kambuh disaat yang tidak tepat?

Aku masih menahan rasa sakitnya.
Peserta dengan nomor punggung 11 berhasil menyusulku, menyeimbangkan posisinya dan...
Berhasil mendahuluiku.
Tidak. Aku tidak boleh kalah.
Aku harus lebih cepat lagi dari dia.

Tahan Rara, tahan!
Sedikit lagi.

3 2 1 and....

“Haaaaa!” Aku berteriak panjang.
Aku berhasil  sampai garis finish lebih dahulu dari peserta lain.

“Yeayyyy! Aku menaaang!” seruku penuh semangat.

Terdengar tepuk tangan riuh (lagi) dari para penonton dan juga... Coach!

Aku berlari kecil menghampiri Coach.
Good job, Ra...”
Brukkk.

Aku jatuh tersungkur ke tanah.
Lututku sudah terasa sangat sakit luar biasa sekali.

“Ra...” Lanjut Coach.

Lalu ia dan beberapa orang sekitar segera membantuku berdiri.
Ya Tuhan, lutuku benar-benar sakit.

Tim medis membantu memeriksa lutut kananku yang sakit.
“Untung cidera kamu kambuhnya pas udah menang.” Celetuk Coach.
“Hahaha...” Aku dan semua yang ada didekatku tertawa.
“Tenang aja, Coach. Aku gak akan ngecewain kok. Hahaha.” Jawabku sambil bergurau.
“Gimana, Rara? Apa perlu bantuan kursi roda?” Tanya salah seorang petugas medis.
“Gak usah, udah agak baikan kok, gak sesakit tadi. Aku masih bisa jalan.”
“Baiklah, istirahatkanlah saja kakimu dulu, kami tinggal sebentar.” Ujar petugas tim medis.
“Baik, terimakasih.”

Coach duduk disampingku.
“Terimakasih banyak, Rara.” Ucap Coach.
“Tidak masalah, Coach.” Ucapku sambil mengangguk dan tersenyum mantap.
“Coach akan bertanggung jawab atas kecideraanmu ini. Kami akan membiayai biaya pengobatan cideramu sampai benar-benar sembuh. Dan setelah pembagian piala & medali nanti, sebagai ucapan terimakasih dan maaf, Coach akan mentraktirmu makan..” Kata Coach.
“Beneran, Coach? Yeayyyy.” Aku bersorak kegirangan.
“Yap! Hanya untuk atlit wanita hebatnya Coach,” Coach tersenyum menoel hidungku.
Aku tertawa.
“Jika Mama dan Papamu tau, kalo anaknya menang lagi, pasti mereka bangga sekali.” Lanjut Coach.
Aku tersenyum. “Aku sengaja belum mengabari mereka, biar surprise aja nanti pas pulang, hehehe.” Aku tertawa.
“Oya makasih banyak ya, Coach, Coach udah setia buat jadi pelatihku selama bertahun-tahun. Coach udah ngasih ilmu Coach ke aku dari semenjak aku kecil, hingga sekarang aku bisa berkali-kali menjadi juara nasional. Makasih banyak, Coach.” Lanjutku dengan tersenyum haru.
“Sudah menjadi tugas Coach untuk melatih kalian-kalian para atlitku yang kelak akan menjadi atlit hebat dunia. Kamu masih ingat, saat kakakmu berhasil menjadi juara mewakili indonesia di SEA GAMES cabang atletik? Kamu masih ingat, saat Bibimu berhasil menjuarai kejuaraan atletik Nasional saat masa kuliahnya? Dan sekarang, bakat-bakat itu akan turun kepadamu, Rara.” Ujar Coach.
“Terimakasih, Coach. Itu semuapun berkat Coach yang telah melatih mereka hingga mereka berhasil meraih cita-cita mereka. Aku janji akan lebih berprestasi dari Kakak dan Bibiku!” Ucapku mantap.

“Good!”  Coach tersenyum, semakin memperlihatkan kerutan di sekitar area wajahnya, menandakan usianya sudah semakin lanjut.
Coach sudah ku anggap seperti Papa kandungku sendiri, mengingat keluargaku ini turun temurun telah berhasil menjadi atlit nasional berkat ilmu dari Coach Andi.

Jika Coach pensiun nanti, harus akulah yang meneruskan profesinya sebagai Pelatih Atletik dan melahirkan para atlit-atlit hebat seperti Kakak dan Bibiku.

Wasit mengumumkan hasil penilaian dan perolehan waktu hasil pertandingan.

Semua bertepuk tangan ketika namaku disebut sebagai pemenangnya.
Tertanam rasa bangga yang luar biasa dalam sanubariku.
MC  memanggilku ke podium.
Aku berjalan sedikit pincang membawa diriku ke podium. Lagi-lagi mereka bertepuk tangan riuh. Lututku masih terasa sakit. Tapi it's okay, lah.

Pak Gubernur menyerahkan piala dan mengalungkan medali pada leherku.
Aku mengangkat pialaku dan tersenyum menghadap kamera media yang ada di banyak sudut.

“Nggg... Coach? Bisa gak traktirnya besok aja? Gapapa, kan? Gak kadaluarsa, kan?” Tanya ku pada Coach saat sudah turun dari podium.
“Loh? Memangnya kenapa, Ra?” Tanya Coach keheranan.
“Soalnya hari ini aku ada urusan, Coach. Gapapa, kan?” Tanyaku ragu-ragu.
“Yaudah, kalo gitu Coach antar kamu pulang saja ya,”
“Gak usah, Coach. Biar Pak Jaja aja yang jemput aku.” Aku menolak.
“Oh, yasudah. Kalo begitu, Coach duluan ya, sampaikan salam Coach pada orang tua dan kakakmu. Sekali lagi, selamat!” Coach menepuk pundakku dan pergi.
“Terimakasih, Coach!” Aku mengangguk dan tersenyum mantap.

Aduhhh, kakiku masih terasa sakit.  Tapi tak apalah. Setelah ini aku akan langsung menuju Gedung tempat Gio bertanding. Ya! Hari ini Gio Final!
Semalam, ia meng-watsapp-ku jika sekarang dirinya akan bertanding di final. Dan kebetulan hari ini juga aku bertanding.

Nah, itu dia mobil Pak Jaja!

Aku segera berjalan pincang mendekati mobil.
Pak Jaja keluar mobil dan membantuku berjalan dan menaiki mobil.
“Neng Rara kenapa? Cideranya kambuh lagi?” Tanyanya.
“Biasa, Pak.” Jawabku sok enteng.
“Wahhh, Neng, itu apaan? Piala? Medali?”
“Bukan, ini cireng!” Jawabku.
“Ah, Neng Rara suka becanda begitu, deh.” Ia tertawa memperlihatkan sebagian gigi-giginya yang ompong.
“Yaudah Pak, anter aku ke tempat Gio bertanding kemarin, ya!”
“Neng, gak pulang dulu?”
“Gak usah, Pak,”
“Gak setor muka atau ngasih tau Bapak, Ibu, dan A Ijal dulu?” Tanya Pak Jaja lagi.
“Gak usah, Pak. Aku udah telat ini nonton Gio final.”
“Cieee... Neng Rara.. CLBK, nih?” Goda Pak Jaja.
“Iiihh, Pak Jaja mahh.. Bikin Neng malu aja.”
“Trus?”
“Ngga, Pak, kita cuma temenan kok, sahabatan..” Aku terdiam sejenak. “Tapi Neng masih sayang sama Gio,” mataku mulai berkaca-kaca.
“Bapak tau neng, pasti Neng tuh masih sayang banget kan sama Kak Gio? Masih ngarepin kak Gio, kan?”
“Ngarepin sih, ngga, Pak. Cuma ya gitu..” Aku malah curcol sama Pak Jaja.

“Eh, Eh.. Stop, Pak. Itu gedungnya.. Hampir aja kelewat.”
Kemudian Pak Jaja memarkirkan mobilnya di area parkir depan Gedung tempat
pertandingan diadakan.
“Neng, mau ditungguin?” Tawar Pak Jaja.
“Gak usah, Pak. Nanti Neng telfon Bapak lagi aja buat jemput.”
“Oke siap!”
“Oya, Neng tunda pialanya ya, dimobil. Jangan dulu kasih tau Mama, Papa dan Aa sebelum aku pulang, ya, Pak!” Kataku memberi amanat pada Pak Jaja.
“Siap Neng, beres.” Kemudian Pak Jaja membawa mobilnya pergi meninggalkanku.

Dengan agak cepat aku berjalan memasuki ruangan sambil terpincang-pincang. Setelah memberikan tiket yang sudah aku beli sebelumnya, aku memasuki arena penonton untuk mencari tempat duduk yang strategis.

Tidak sengaja, aku melihat Sheilla dari belakang sedang -juga- menonton Gio bertanding dilapangan.

Ku urungkan niatku untuk berbaur dengan para penonton 'heboh'.
Ku pakai masker mulut yang tadi ku beli disuper market, untuk menghindari kalau-kalau nanti Sheilla melihatku.

Kenapa Gio gak bilang, kalo Sheilla juga dateng nonton hari ini?

Hfftttt.

Aku menonton Gio tidak sesemangat dan tidak seheboh kemarin.
Ditambah wajahku masih kucel setelah berkeringat di pertandingan tadi.
Yasudahlah.

“Giooooo!!!” Teriak Sheilla yang tak jauh dari tempatku duduk.
“Semangat Gioooo!!!”

Baru setengah set Gio bermain dilapangan.
Aku terus menontonnya.
Terdengar beberapa teriakan dan tepukan tangan para penggemar Gio menyemangatinya. Ribut sekali.

Hm.

Sekitar 45 menit berlalu.

“Yeaaaa!!!” Tiba-tiba penonton yang berada disekitarku berteriak lebih kencang.
Rupanya, Gio sudah selesai bertanding dan... Menang!

Gio menang!

Aku segera berjalan cepat menyusul Gio ke area tempat para atlit mempersiapkan diri. Aku clingak-clinguk mencari Gio.
Kemana Gio tadi?

Nah, itu dia! Aku melihat punggung Gio. Oh, rupanya ke arah pintu keluar.

Entah mengapa, kali ini lututku tidak lagi terasa sakit. -the power of love, maybe.-
Aku melepas maskerku dan berlari kecil mengejar Gio.
“Gio!” Aku berteriak memanggil dan menghampiri Gio diluar gedung.
Gio menoleh.

“Eh, hai... Rara!” Gio menyambutku.
Secara refleks kami berpelukan.

“Congratulation!”
“Thanks,” jawab Gio. “Eh, medali...” Gio mengalihkan pandangannya. Aku cengo.
Ia memegang medali yang ada di...
OMG! Aku lupa melepas kalungan medali pas turun dari mobil tadi.
“Kamu? Menang?” Ekspresi Gio sumringah.
Aku nyengir.
“Wahhh... Selamat!” Gio memeluk ku lagi.
“Gio!”
Tiba-tiba ada suara seorang perempuan memanggil Gio.
Kami langsung mengalihkan pandangan.

Sheilla!

“Oh, jadi gini ya, kelakuan kamu dibelakang aku? Gini?” Sheilla sewot.

“Sheilla, tadi Gio cuma...” Aku berusaha menjelaskan.
“Diem lo! Gua gak lagi ngomong sama lo!” Sergah Sheilla.

“Gio cuma ngasih ucapan congrats doang, dan dia meluk gua cuma sebagai tanda sahabat aja!” Aku masih maksa berusaha menjelaskan.
“Gua bilang diem!” Bentak Sheilla lagi.

Dan...
Dramapun dimulai...

“Kamu nyuruh aku kesini, karna kamu bilang kamu bakal final hari ini. Oke aku dateng. Tapi apa? Apa?! Kamu sama sekali gak ngeahargain aku yang udah bela-belain jauh-jauh dateng kesini cuma buat support kamu. Dan kamu malah asik bedua-duaan sama dia, cewek norak!” Ia berkata ‘cewek norak’ tepat diwajahku.

Aku langsung akan menyerang Sheilla, tapi Gio menahanku.

“Sheilla! Deng...”
“Gak usah banyak alesan!” Sheilla langsung memotong omongan Gio. Emang gak sopan nih, cewek.
“Gua bilang dari awal kalo gua bakal tanding dan lo masih tetep gabisa dateng, karna lo bilang lo ada urusan yang gak bisa lo tinggalin. Oke, gua terima. Gua ngertiin. Dan gua menang sampe berhasil ke babak selanjutnya lo bilang masih gabisa dateng dan support gua, oke gua paham. Gua bilang gua masuk final lo baru dateng, iya kan?!! Hah??! Liat dong Rara, dia dari pertama gua seleksi masuk Club gua yang sekarang, dari awal pertandingan sampe sekarang final dia selalu ada waktu buat gua! Walaupun dia lagi cidera!” Gio membentak Sheilla.
“......” Sheilla diam.
“Dan ini!” Gio menunjukan layar ponselnya pada Sheilla yang berisikan foto Sheilla sedang bersama seorang cowok lain sedang bermesraan.
Sheilla melongo. Kaget.
“Kemaren, temen gua yang kebetulan lagi diluar kota, gak sengaja ngeliat lo lagi berdua-duaan sama cowok lain di Caffe!  Dan ini kelakuan lo juga dibelakang, gua? Hah?”

Sheilla tak berkutik.
Aku makin terenyuh dalam drama ini. Drama antara sepasang kekasih yang menjalin LDR ternyata gak saling jujur.

Erghhh, kita putus! Gua benci sama lo!” Tunjuk Sheilla tepat didepan wajah Gio.
“Ok, kita putus!” Jawab Gio tak mau kalah.
“OKE!” Kemudian Sheilla berjalan menyenggol bahuku, “Ish!” Cibirnya, kemudian pergi begitu saja.
“Duh..” Rintihku.

“Ada apa ini ribut-ribut?” Tiba-tiba satpam menghampiri kami.
“Gak ada apa-apa, Pak. Maaf.” Jawab Gio.
Kemudian satpam tersebut meninggalkan kami kembali.

“Kamu gak papa?” Tanya Gio.
“Gak papa, kok.”
“Maafin Sheilla ya, dia emang...”
“Gapapa, no problem.” Aku memotong omongan Gio.
“Ra...” Ucap Gio lirih, memegang kedua pipiku.
Mata kami saling bertemu. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku, ia meletakan keningnya dikeningku, sehingga nafasnya terdengar jelas oleh telingaku.

“I'm still love you..”  Bisiknya.

OH MY GOD!

“And I don't wanna be your ex and you will be my ex for a second time.” Bisiknya lagi.

Deg. Deg. Deg.

Gio memelukku lagi.

Me too.. Aku membalas pelukannya. 
I love you yesterday, last day, last time, and untill now...   Ucap Gio.
You said, that you love me yesterday, last day, last time and untill now? So,  gimana pas kamu pacaran sama Sheilla?  tanyaku penasaran.
 Gio melepas pelukannya.
Hmmm, entahlah. I can't feeling and describing a love when I'm with Sheilla.  Jawabnya dengan datar.
 “Everytime I feel so missing you, never ending. And I have a same feeling like what you feeling, Gio.” Ujarku dengan jujur.
Gio tersenyum.
“Will you be my best friend?” Tanya Gio menggenggam kedua tanganku.
“Best friend?” Tanyaku mengangkat alis.
“Yap, untill I say ‘Will you marry me?’ on the next time. And this is certainly I will said that!” Jawab Gio dengan senyumnya.
“Of course!” Jawabku sambil memeluknya lagi.

Gio memeluk sambil membelai rambutku.

“Ihhh, bauuu..” Gio melepaskan pelukannya.
Aku nyengir. “Hehe, tadi abis tanding lari, aku langsung kesini tanpa mandi dulu.”
“Hahaha, pantes aja. Tapi gak papa kok, meskipun bau, tapi tetep juara dan kamu tetep cantik kok meskipun kucel abis keringetan. Hehehe.” Gio menoel hidungku.

“Ih, kamu juga bau tau, abis main bulutangkis langsung meluk-meluk aku.” Ujarku sambil menutup hidung.
“Hahaha..” Kemudian Gio tertawa, memelukku lagi. Aku tertawa dalam pelukannya.
Merasakan kehangatan cinta yang sesungguhnya.


***


P.S: Cerita ini hanya fiktif belaka, hasil dari inspirasi saya. Jika ada kesamaan nama, tempat dan yang lainnya adalah unsur ketidaksengajaan.
Fiktif Belaka.





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar