Diberdayakan oleh Blogger.

Translate This Page

RSS

Suatu Saat Nanti... - a short story by Me.


Mengapa harus dengan teman kelas sendiri? Mengapa?
Aku tidak bisa dengan bebas mengekspresikan perasaanku.
Aku tidak bisa dengan gampangnya ‘menyerobot’ untuk bisa dekat dengannya.
Ya walau misal posisinya aku suka sama orang yang bukan teman kelasku sendiripun, bukan berarti aku bisa menyerobot seenak jidat. Cuma ya, beda aja rasanya. Menurutku, ini lebih sulit dari yang sulit.

Aku juga tidak punya alasan untuk chatting dengannya. Jangankan chatting, mengobrol langsung saja untuk seorang aku yang seperti ini, dan seorang dia yang seperti itu sepertinya mustahil sekali.
Bahkan aku tidak punya topik pembicaraan yang pas untuk ku bahas dengannya, hanya sekedar basa basi. Mengobrol renyah, atau… 

Ah! Rasanya berat. Berat sekali.

Tunggu, tunggu…
Apa tadi? Nadin? Gak bisa ngajak ngobrol orang? Keabisan topik pembicaraan? Hah? Gasalah nih aku? Seorang Nadin yang katanya bawel dan pandai mengolah kata kehabisan topik? Haduh, kedengarannya, sih mustahil. Tapi ya itulah kenyataannya.

Rasanya juga seperti percuma aku menyimpan nomornya di kontak whatsapp. Mati. Gak guna. Semacam mau delete tapi penasaran. Darimana lagi coba aku bisa mantau kesehariannya dia kalau bukan dari story whatsapp? Ya walaupun sebenarnya dia juga jarang banget bikin story, sih.
Trus dari mana? Instagram? Dia gak begitu aktif di instagram seperti manusia pada lazimnya. Aku juga jadi tidak yakin jika dia adalah seorang ‘sosmeder’. Ternyata ada ya, dijaman sekarang orang yang gak begitu aktif di sosmed? Kuat tah? Gak gatel apa pengen ngecek HP? Ya walaupun cuma sekedar scroll-scroll time line. Tapi kayanya dia kuat, deh. Jarang banget aku ngeliat dia maen HP. Bahkan kayanya gak pernah, sih. Hmmmm. Keren. Dia beda. Beda dari yang lain.

Dan jika boleh aku katakan, hanya dia yang bisa membuatku seperti ini. Aku kalah. Kalah akan semuanya. Bahkan aku kalah oleh diriku sendiri. Raigaaaa… Ayolah, mengerti. Mengerti bahwa aku menyukaimu. Tanpa harus aku beritahu, atau bahkan tanpa harus aku sampaikan dari sikapku yang tersirat. Ayolah mengerti. Arrghhhh. 

*

Hari ini kuliah seperti biasa. Mengalir. Tidak ada yang begitu membuatku bergairah untuk melewatinya, melewati tiap detik demi detiknya. Sangat datar.
Sampai ada seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi memasuki ruangan berhasil mengalihkan pandanganku yang sebelumnya aku pusatkan pada Dosen yang sedang menjelaskan materi.

Raiga!

Ah, dia lagi! Si sosok yang selalu bersarang dalam isi kepalaku. Dia datang! Dia datang dengan sweater hoodienya, dengan celana jeans cutbraynya yang semakin membuat tungkainya terlihat panjang, dan dengan sneakers yang ia kenakan dikakinya, juga tas gandong yang membuatnya semakin terlihat casual. Raiga, aku suka.

Aku langsung memusatkan perhatianku kembali pada Dosen saat Raiga sudah lebih memilih duduk di bangku deretan depan yang kebetulan kosong melompong. Tak ada yang berani menempatinya, karena yang ku tau, jika duduk dideretan depan itu identik dengan mahasiswa rajin, aktif, kesayangan Dosen, dan ya.. yang gitu-gitu, lah. Dan dia dengan percaya dirinya mendudukinya seorang diri. Seperti tidak peduli bahwa teman-teman se-genknya bergerombol lebih memilih tempat duduk di pojok belakang.
Raiga, kamu beda. Aku suka. (lagi)

*

Kali ini aku melihatnya sendirian lagi, duduk diteras kelas. Dari ekspresinya, terlihat seperti terlalu malas untuk berbicara dengan orang-orang yang ada disekitarnya, yang padahal itu adalah teman-teman sepermainannya sendiri. Ingin rasanya aku mendatanginya, mengajaknya berbicara empat mata, berdua saja dan sedikit bercanda renyah. Simpel memang, tapi sangat sulit. Seperti ada jurang yang begitu membentang diantara kita. Padahal jarak diriku berdiri dengan dirinya hanya beberapa langkah saja. Ya Tuhan, aku mau Raiga.

Satu, dua, tig… Oke samperin!

“Nad, ayo! Kita mau makan, nih”

Tiba-tiba ada seseorang yang menahan tanganku, dan membuat kakiku yang sudah setengah langkah untuk menghampiri Raiga terhenti. Calista! Keparat sekali dia. Dengan mudahnya membuat nyaliku buyar berantakan begitu saja. Butuh waktu dan tenaga lebih untuk mengumpulkan itu semua kembali. Dengan keadaan yang sudah tak memugkinkan, akhirnya aku lebih memilih menyerah.
“Ayo!” Kemudian aku dengan begonya memutar arah, mengikuti langkah teman-temanku yang bergerak menuju kantin. Dengan mudahnya aku melupakan hajat besarku sebelumnya untuk berbicara dengan Raiga begitu saja. Namun kebetulan aku juga sedang lapar, memang. Membuat kekecewaanku sedikit terobati, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Nasi Padang kantin!
Raiga, tunggu aku. Kita berbicara panjang lain waktu, akan ku pastikan itu.

*

Tidak ada yang lebih membosankan dari duduk dan sedikit melamun menunggu giliran. Ya, sekarang aku dan teman-teman perempuan timku sedang menunggu giliran bermain futsal sampai tim laki-laki selesai.
Namun tidak ada yang lebih menyenangkan dari duduk menonton permainan tim futsal laki-laki yang salah satunya ada Raiga disitu. Ya, Raiga. Dengan postur tubuhnya yang diatas rata-rata, dibalut celana pendek yang memperlihatkan penuh bagian kaki telanjangnya, kurasa itu sangat mencolok. Betisnya terlihat panjang. Yang lain juga sama saja sih, banyak pula yang sama tinggi. Namun entah mengapa, apa yang ada dalam dirinya terlihat sangat kontras saja dimataku. Ah, apa ini akunya saja yang terlalu berlebihan, ya? Hmm, mungkin iya. Akunya saja yang berpikir segalanya ‘atas unsur perasaan’ sehingga membuat segalanya yang ada dalam dirinya terlihat berbeda dimataku.


Rambut gondrongnya terlihat begitu mengganggu, membuatnya tidak bebas bergerak, berlari kesana-kemari, menendang bola. Berkali-kali ia membenarkan bandu yang ada dikepalanya. Semakin membuat dirinya tidak bebas bergerak. Risih akan posisi rambutnya yang tidak sesuai keinginannya. Ah, kali ini aku tidak suka. Aku tidak suka dengan rambut gondrongnya. Tapi jika kuperhatikan lebih dalam lagi, keringat yang bercucuran di dahinya terlihat seksi, berhasil meredam rasa tidak sukaku terhadap salah satu yang ada pada dirinya tadi. Baiklah, baiklah Raiga, kamu menang. Menang segalanya.

Diriku berlebihan? Memang. Aku tau, dan aku tidak peduli itu. Yang penting, aku bisa menyaksikan Raiga in action dengan puas sekarang.

*
“Ehhh, ada anak baru!” Teriak salah satu dari banyak orag dikelasku.
Aku yang sedang duduk sambil meletakkan kepalaku diatas meja spontan beranjak. Memandangnya cepat.
Aku mengernyitkan alis. Namun bibirku sedikit terbuka. Terkesima.
Raiga!
Potong rambut. Beda.
“Wuiiih, Raiga cukur rambut!”
“Wiii, Raiga wajah baru!”
Teman-teman yang lain ikut menggodanya. Seperti biasa, ia hanya diam, tersenyum tipis.
“Eh, si Raiga beda banget ya!”
“Iya loh, Raiga tuh gondrong cocok, bondol lebih cocok. Hahaha”
Telingaku tak sengaja mendengar celetukkan percakapan teman-teman yang lain. Yang rasanya ingin aku saut, “Iya, yah. Raiga ganteng.”
“Wiiii, Raiga ganti muka cuyyy.” Akhirnya aku juga ikut mengodanya. Berkontribusi didalamnya. Namun kali ini aku menyaut atas unsur sebagai teman. Bukan sebagai seseorang yang menaruh perasaan untuknya.

Harus ku akui, dengan penampilannya yang baru, Raiga terlihat lebih cerah, aura dalam dirinya semakin terpancar. Ya Tuhan, kenapa sih, tidak ada henti-hentinya Kau menunjukan keindahan makhluk-Mu yang satu itu? Aku kan jadi capek, capek untuk mengangumi. Capek untuk selalu bergumam tentangnya dalam hati. Aku capek. Aku lelah. Aku ingin istirahat dan berhenti sejenak untuk mengaguminya.

Tapi untukmu Raiga, maafkan aku jika tiba-tiba telingamu berdenging karna gumamanku dalam hati yang gaduh menyebut namamu, dan membicarakan tentang kamu.
Maafkan aku jika tiba-tiba tidurmu dimalam hari jadi terganggu, karena saat itu aku sedang diam-diam meminjam namamu untuk ku negosiasikan dengan Tuhan di sepertiga malamku.
Maafkan aku Raiga, aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman, jika memang benar kau mengalami hal-hal itu.

“Eh, si Raiga beda banget ya. Heran gua ama dia, jadi cakep sekaligus gitu. Hahaha.” Kata Lesha, temanku membuka pembicaraan saat kita sedang berkumpul.
“Iya loh ya, cakep” sambung Calista.
“Lucu gitu.” Tambah Lita.
“Iya yah, gemesh tau” Aku ikut nyambung.
“Gua juga sebenernya suka sih, sama dia. Suka aja. Tapi bukan berati pengen macarin.” Ujar Lesha.
Deg. Aku terkejut.
Ingin rasanya aku menyahut, ‘Iya gua juga suka sama dia!’
Satu.
Tahan.
“Ohh, ngerti-ngerti.” Jawab Calista mabggut-manggut.
“Iya, rasanya kadang pengen meluk gitu.” Tambah Lesha berapi-api.
“Idiii…” Jawabku dengan sedikit ekspresi jijik.
“Bukan gitu Nad, jadi orang tuh ada yang auranya bikin kita gemes pengen meluk atau nyubit gitu. Ada aja loh, ya mungkin yang dimaksud Lesha si Raiga ini salah satunya, bukan tiba-tiba pengen nyosor buat meluk gitu,” Calista membantu menjelaskan.
“Nah, iya! Gitu maksud gua,” Jawab Lesha seolah merasa diwakilkan.
“Ooow, baru tau.” Aku hanya maggot-manggut. Masih menahan sedikit sesuatu yang ingin aku luapkan.
Masih tahan.
“Tapi kalian tau gak sih, dia tuh drunkard  tauuu.”
“Hah?” Aku terkejut.
“Maksudnya miras?” Tanyaku polos.
“Iya!”
“Raiga?” Masih terkejut. Sedikit meringis. Tak percaya dengan apa yang baru saja Lesha ucapkan.
“Ohya?!!” Yang lain juga terkejut seperti tak percaya.
“Iya, anak cowo diangkatan kita tuh banyak tau yang drungkard, tapi ga semua. Cuma kebanyakan. Nah, si Raiga ini salah satunya.” Jelasnya lagi, seolah memberi banyak informasi penting pada kami. Aku, terutama.

Tunggu tunggu…
Apa tadi?
Raiga? Pemabuk? Gak salah denger kan, aku?
Dengan wajahnya yang cute, polos, dan pembawaannya yang kalem membuat hal ini benar-benar sulit dipercaya. Aku tidak percaya. Aku tidak menyangka bahwa Raiga adalah seorang pemabuk.
Memang minuman keras bukan lagi hal yang  tabu, apalagi dalam kehidupan remaja. Banyak orang yang bahkan sudah kecanduan. Hanya yang tidak aku sangka adalah Raiga menjadi salah satunya.
Dan untuk pertama kalinya aku kecewa. Ternyata Tuhan juga akhirnya menunjukan kekurangan salah satu makhluk-Nya itu padaku. Walaupun masih belum pasti, walaupun masih ‘katanya’. Tapi ini cukup berhasil membuatku terkejut.

Tiga. Tetap tahan.
Sampai akhir pembicaraanpun rupanya aku masih tahan untuk tidak terpancing membahas soal Raiga dari sudut pandangku yang berperan menjadi seseorang yang juga menyukainya. Aku berhasil hanya menjadi pendengar dan penyimak yang baik kali ini.

Raiga, kenapa sih?...

Terserah kamu akan menjadi apa sebenarnya dirimu.
Bahkan jika memang benar kamu pemabukpun aku tidak peduli.
Aku tetap mau. Mau kamu. Jadi teman hidupmu.
Mendampingimu dalam keadaan apapun kamu.

Ah, cukup Nadin! Kau berkhayal terlalu tinggi! Dengarkan aku, kamu bukan seleranya! Kamu hanya bagian dari butiran-butiran debu yang bertebaran dalam hidupnya.
Ingat, jangan sampai kamu mengkonyol-konyolkan hidupmu jika sampai kamu mengekspresikan perasanmu terhadapnya pada yang lain. Kamu akan habis, habis dimakan malu. Habis dimakan kecewa, sakit bahkan mungkin hancur. Kamu tidak mau, kan itu terjadi?
Kecuali jika kamu membisikannya pada semesta dan menyampaikannya lewat doa.

Seolah bisikan itu begitu jelas terngiang ditelingaku. Dan kurasa benar, aku tidak mau membuat hidupku semakin konyol jika aku sampai hancur oleh sebab yang aku buat-buat sendiri; Patah hati.

*

Hari ini Raiga terlihat lebih datar dari biasanya. Ekspresinya juga kusut. Ah, tapi sepertinya ini hanya perasaanku saja. Jika dipikir-pikir sih, dari sejak awal aku melihat Raiga dulu, tidak ada ekspresi signifikan yang terpancar diwajahnya. Datar dan dingin. Selalu.
Bahkan mungkin bisa kuhitung pakai jari berapa kali aku melihat dirinya berbicara, berbicara aktif layaknya manusia normal dengan yang lain.

“Hahaha..” Seisi kelas tertawa. Termasuk aku. Karena Dosen mengucapkan sesuatu yang lucu.

Kulirik Raiga. Ah! Ternyata...
Jika kau harap aku akan menemukan ekspresinya yang sedang tertawa juga, kau salah. Dia hanya membuat ekspresi garis dikelopak bawah matanya dan sedikit menarik bibirnya. Tipis. Menandakan bahwa ia juga ikut tertawa. ‘nih, gua juga ketawa loh’.
Ah, Raiga! Kamu beda. Kau selalu berhasil membuatku kagum.

Raiga diam. Dingin. Jangankan padaku yang istilahnya termasuk kedalam daftar orang yang tidak akrab dengannya, dengan teman-teman se-genknya pun aku jarang melihat dia berinteraksi aktif. Saat yang lain gaduh dikelaspun, aku lihat dia tengah asyik dengan dirinya sendiri. Diam. Tapi tidak juga memperhatikan sekitar. Lebih tepatnya sedikit melamun dan berdiam diri. Tapi bukan juga minder. Atau paling banter ia ku lihat sedang asyik memainkan ponselnya. Tapi itu jarang sekali.
Sepertinya setiap hari, tiap suasana, tiap waktu, tiap detik yang kulihat dirinya, memang itulah ekspresinya. Datar, kusut, dingin ‘tak bergeming. Yang ku tau dari sini, bahwa dirinya adalah introvert. Sama seperti diriku.
Dia minoritas. Dia tidak mendominasi, tapi sangat kontras. Dan aku suka.

Sampai pada suatu hari, aku melihat foto profil di whatsapp-nya adalah foto seorang tokoh. Ya, musisi. Duta. Duta Sheila On 7.
Oh, rupanya ia seorang Sheila Gank.
Jadi rupanya ini juga alasan ia memanjangkan rambutnya kemarin. Biar mirip Duta gitu, ya. Ooh, oke oke. Aku paham sekarang. Yang jika ku perhatikan, rambut paska gondrongnyapun mirip dengan rambut tidak gondrongnya Duta. Mungkin kalian bertanya-tanya, mengapa aku bisa menyimpulkan seperti ini? Karena ya, waktu itu aku liat foto Duta di salah satu sosmed yang potongan rambutnya sama persis kaya rambutnya Raiga yang sekarang. Jadi, gitu.

Lagi. Aku menemukan fakta baru tentang Raiga.
Dia… adalah seorang… Sheila Gank… Yang mana lagu idolanya sering ku dengarkan jika si patah hati sedang melandaku. Hmmm.

*

Sudah terhitung sekitar jalan dua bulan aku meresmikan perasaanku pada Raiga.
Dua bulan. Dan tidak ada perkembangan. Seolah aku memang tidak punya cara untuk berusaha, atau mengusahaknnya agar bisa dekat dengannya.

Raiga akan tetap jadi Raiga yang sulit di gapai, dan aku akan tetap jadi Nadin yang sulit menggapai. Rupanya, Tuhan berkehendak lain, semesta juga punya cara lain. Dan tugasku sekarang adalah cukup ikhlas menerimanya. Jika aku dan Raiga memang tidak harus bersama.

Raiga, ternyata aku juga tidak bisa menepati janjiku pada diriku sendiri diawal yang kubilang aku akan memastikan jika suatu saat kita akan berbicara panjang. Berdua saja. Hanya ada aku, kamu dan semesta yang menjadi saksi.

Menemanimu menonton konser SO7, menyemangati dan membawakan sebotol minuman segar ketika kamu bermain futsal, serta membantumu mengerjakan tugas kuliah. Walau hanya hal-hal sesederhana itupun, ternyata itu semua hanya menjadi fatamorgana yang tersirat dalam imajinasiku.
Kamu terlalu tinggi, apalah dayaku yang terlalu rendah untuk bisa menggapaimu.

Raiga, aku juga tidak tau apa rencana Tuhan selanjutnya. Apakah ternyata ini hanyalah sebuah rasa penasaran yang ada pada diriku terhadapmu yang nantinya lama kelamaan juga akan hilang dengan sendirinya dimakan oleh waktu. Atau memang hatiku mengatakan kamu. Kamulah yang aku mau. Logikaku juga sudah memutuskan, bahwa aku jatuh cinta dengan kamu.
Entahlah, apapun jawabannya yang aku temukan nanti, ku harap itu memang yang terbaik dari yang terbaik.

Raiga, tetaplah jadi dirimu. Dirimu yang aku kagumi.
Terimakasih sudah menjadi peran yang mau ku utamakan dalam hidupku. Sampai bertemu, suatu saat nanti…

***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar