Mengapa
harus dengan teman kelas sendiri? Mengapa?
Aku
tidak bisa dengan bebas mengekspresikan perasaanku.
Aku
tidak bisa dengan gampangnya ‘menyerobot’ untuk bisa dekat dengannya.
Ya
walau misal posisinya aku suka sama orang yang bukan teman kelasku sendiripun,
bukan berarti aku bisa menyerobot seenak jidat. Cuma ya, beda aja rasanya. Menurutku,
ini lebih sulit dari yang sulit.
Aku
juga tidak punya alasan untuk chatting
dengannya. Jangankan chatting,
mengobrol langsung saja untuk seorang aku yang seperti ini, dan seorang dia
yang seperti itu sepertinya mustahil sekali.
Bahkan
aku tidak punya topik pembicaraan yang pas untuk ku bahas dengannya, hanya
sekedar basa basi. Mengobrol renyah, atau…
Ah! Rasanya berat. Berat sekali.
Tunggu, tunggu…
Apa tadi? Nadin? Gak bisa
ngajak ngobrol orang? Keabisan topik pembicaraan? Hah? Gasalah nih aku? Seorang
Nadin yang katanya bawel dan pandai mengolah kata kehabisan topik? Haduh,
kedengarannya, sih mustahil. Tapi ya itulah kenyataannya.
Rasanya
juga seperti percuma aku menyimpan nomornya di kontak whatsapp. Mati. Gak guna. Semacam mau delete tapi penasaran. Darimana lagi coba aku bisa mantau
kesehariannya dia kalau bukan dari story
whatsapp? Ya walaupun sebenarnya dia juga jarang banget bikin story, sih.
Trus
dari mana? Instagram? Dia gak begitu aktif di instagram seperti manusia pada
lazimnya. Aku juga jadi tidak yakin jika dia adalah seorang ‘sosmeder’.
Ternyata ada ya, dijaman sekarang orang yang gak begitu aktif di sosmed? Kuat tah? Gak gatel apa pengen ngecek HP? Ya
walaupun cuma sekedar scroll-scroll time line. Tapi kayanya dia kuat, deh.
Jarang banget aku ngeliat dia maen HP. Bahkan kayanya gak pernah, sih. Hmmmm.
Keren. Dia beda. Beda dari yang lain.
Dan
jika boleh aku katakan, hanya dia yang bisa membuatku seperti ini. Aku kalah.
Kalah akan semuanya. Bahkan aku kalah oleh diriku sendiri. Raigaaaa… Ayolah,
mengerti. Mengerti bahwa aku menyukaimu. Tanpa harus aku beritahu, atau bahkan
tanpa harus aku sampaikan dari sikapku yang tersirat. Ayolah mengerti. Arrghhhh.
*
Hari
ini kuliah seperti biasa. Mengalir. Tidak ada yang begitu membuatku bergairah
untuk melewatinya, melewati tiap detik demi detiknya. Sangat datar.
Sampai
ada seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi memasuki ruangan berhasil
mengalihkan pandanganku yang sebelumnya aku pusatkan pada Dosen yang sedang
menjelaskan materi.
Raiga!
Ah,
dia lagi! Si sosok yang selalu bersarang dalam isi kepalaku. Dia datang! Dia datang
dengan sweater hoodienya, dengan
celana jeans cutbraynya yang semakin membuat tungkainya terlihat panjang, dan
dengan sneakers yang ia kenakan
dikakinya, juga tas gandong yang membuatnya semakin terlihat casual. Raiga, aku suka.
Aku
langsung memusatkan perhatianku kembali pada Dosen saat Raiga sudah lebih
memilih duduk di bangku deretan depan yang kebetulan kosong melompong. Tak ada
yang berani menempatinya, karena yang ku tau, jika duduk dideretan depan itu
identik dengan mahasiswa rajin, aktif, kesayangan Dosen, dan ya.. yang
gitu-gitu, lah. Dan dia dengan percaya dirinya mendudukinya seorang diri.
Seperti tidak peduli bahwa teman-teman se-genknya
bergerombol lebih memilih tempat duduk di pojok belakang.
Raiga,
kamu beda. Aku suka. (lagi)
*
Kali
ini aku melihatnya sendirian lagi, duduk diteras kelas. Dari ekspresinya,
terlihat seperti terlalu malas untuk berbicara dengan orang-orang yang ada
disekitarnya, yang padahal itu adalah teman-teman sepermainannya sendiri. Ingin
rasanya aku mendatanginya, mengajaknya berbicara empat mata, berdua saja dan
sedikit bercanda renyah. Simpel memang, tapi sangat sulit. Seperti ada jurang
yang begitu membentang diantara kita. Padahal jarak diriku berdiri dengan
dirinya hanya beberapa langkah saja. Ya Tuhan, aku mau Raiga.
Satu, dua, tig…
Oke samperin!
“Nad,
ayo! Kita mau makan, nih”
Tiba-tiba
ada seseorang yang menahan tanganku, dan membuat kakiku yang sudah setengah
langkah untuk menghampiri Raiga terhenti. Calista! Keparat sekali dia. Dengan
mudahnya membuat nyaliku buyar berantakan begitu saja. Butuh waktu dan tenaga
lebih untuk mengumpulkan itu semua kembali. Dengan keadaan yang sudah tak
memugkinkan, akhirnya aku lebih memilih menyerah.
“Ayo!”
Kemudian aku dengan begonya memutar arah, mengikuti langkah teman-temanku yang
bergerak menuju kantin. Dengan mudahnya aku melupakan hajat besarku sebelumnya
untuk berbicara dengan Raiga begitu saja. Namun kebetulan aku juga sedang
lapar, memang. Membuat kekecewaanku sedikit terobati, sebentar lagi aku akan
bertemu dengan Nasi Padang kantin!
Raiga,
tunggu aku. Kita berbicara panjang lain waktu, akan ku pastikan itu.
*
Tidak
ada yang lebih membosankan dari duduk dan sedikit melamun menunggu giliran. Ya,
sekarang aku dan teman-teman perempuan timku sedang menunggu giliran bermain
futsal sampai tim laki-laki selesai.
Namun
tidak ada yang lebih menyenangkan dari duduk menonton permainan tim futsal
laki-laki yang salah satunya ada Raiga disitu. Ya, Raiga. Dengan postur
tubuhnya yang diatas rata-rata, dibalut celana pendek yang memperlihatkan penuh
bagian kaki telanjangnya, kurasa itu sangat mencolok. Betisnya terlihat
panjang. Yang lain juga sama saja sih, banyak pula yang sama tinggi. Namun
entah mengapa, apa yang ada dalam dirinya terlihat sangat kontras saja
dimataku. Ah, apa ini akunya saja yang terlalu berlebihan, ya? Hmm, mungkin
iya. Akunya saja yang berpikir segalanya ‘atas unsur perasaan’ sehingga membuat
segalanya yang ada dalam dirinya terlihat berbeda dimataku.
Rambut
gondrongnya terlihat begitu mengganggu, membuatnya tidak bebas bergerak, berlari
kesana-kemari, menendang bola. Berkali-kali ia membenarkan bandu yang ada
dikepalanya. Semakin membuat dirinya tidak bebas bergerak. Risih akan posisi
rambutnya yang tidak sesuai keinginannya. Ah, kali ini aku tidak suka. Aku
tidak suka dengan rambut gondrongnya. Tapi jika kuperhatikan lebih dalam lagi,
keringat yang bercucuran di dahinya terlihat seksi, berhasil meredam rasa tidak
sukaku terhadap salah satu yang ada pada dirinya tadi. Baiklah, baiklah Raiga,
kamu menang. Menang segalanya.
Diriku
berlebihan? Memang. Aku tau, dan aku tidak peduli itu. Yang penting, aku bisa
menyaksikan Raiga in action dengan
puas sekarang.
*
“Ehhh,
ada anak baru!” Teriak salah satu dari banyak orag dikelasku.
Aku
yang sedang duduk sambil meletakkan kepalaku diatas meja spontan beranjak. Memandangnya
cepat.
Aku
mengernyitkan alis. Namun bibirku sedikit terbuka. Terkesima.
Raiga!
Potong
rambut. Beda.
“Wuiiih,
Raiga cukur rambut!”
“Wiii,
Raiga wajah baru!”
Teman-teman
yang lain ikut menggodanya. Seperti biasa, ia hanya diam, tersenyum tipis.
“Eh,
si Raiga beda banget ya!”
“Iya
loh, Raiga tuh gondrong cocok, bondol lebih cocok. Hahaha”
Telingaku
tak sengaja mendengar celetukkan percakapan teman-teman yang lain. Yang rasanya
ingin aku saut, “Iya, yah. Raiga ganteng.”
“Wiiii,
Raiga ganti muka cuyyy.” Akhirnya aku juga ikut mengodanya. Berkontribusi
didalamnya. Namun kali ini aku menyaut atas unsur sebagai teman. Bukan sebagai
seseorang yang menaruh perasaan untuknya.
Harus
ku akui, dengan penampilannya yang baru, Raiga terlihat lebih cerah, aura dalam
dirinya semakin terpancar. Ya Tuhan, kenapa sih, tidak ada henti-hentinya Kau
menunjukan keindahan makhluk-Mu yang satu itu? Aku kan jadi capek, capek untuk
mengangumi. Capek untuk selalu bergumam tentangnya dalam hati. Aku capek. Aku lelah.
Aku ingin istirahat dan berhenti sejenak untuk mengaguminya.
Tapi
untukmu Raiga, maafkan aku jika tiba-tiba telingamu berdenging karna gumamanku
dalam hati yang gaduh menyebut namamu, dan membicarakan tentang kamu.
Maafkan
aku jika tiba-tiba tidurmu dimalam hari jadi terganggu, karena saat itu aku
sedang diam-diam meminjam namamu untuk ku negosiasikan dengan Tuhan di
sepertiga malamku.
Maafkan
aku Raiga, aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman, jika memang benar
kau mengalami hal-hal itu.
“Eh,
si Raiga beda banget ya. Heran gua ama dia, jadi cakep sekaligus gitu. Hahaha.”
Kata Lesha, temanku membuka pembicaraan saat kita sedang berkumpul.
“Iya
loh ya, cakep” sambung Calista.
“Lucu
gitu.” Tambah Lita.
“Iya
yah, gemesh tau” Aku ikut nyambung.
“Gua
juga sebenernya suka sih, sama dia. Suka aja. Tapi bukan berati pengen
macarin.” Ujar Lesha.
Deg.
Aku terkejut.
Ingin
rasanya aku menyahut, ‘Iya gua juga suka sama dia!’
Satu.
Tahan.
“Ohh,
ngerti-ngerti.” Jawab Calista mabggut-manggut.
“Iya,
rasanya kadang pengen meluk gitu.” Tambah Lesha berapi-api.
“Idiii…”
Jawabku dengan sedikit ekspresi jijik.
“Bukan
gitu Nad, jadi orang tuh ada yang auranya bikin kita gemes pengen meluk atau
nyubit gitu. Ada aja loh, ya mungkin yang dimaksud Lesha si Raiga ini salah
satunya, bukan tiba-tiba pengen nyosor buat meluk gitu,” Calista membantu
menjelaskan.
“Nah,
iya! Gitu maksud gua,” Jawab Lesha seolah merasa diwakilkan.
“Ooow,
baru tau.” Aku hanya maggot-manggut. Masih menahan sedikit sesuatu yang ingin
aku luapkan.
Masih
tahan.
“Tapi
kalian tau gak sih, dia tuh drunkard tauuu.”
“Hah?”
Aku terkejut.
“Maksudnya
miras?” Tanyaku polos.
“Iya!”
“Raiga?”
Masih terkejut. Sedikit meringis. Tak percaya dengan apa yang baru saja Lesha
ucapkan.
“Ohya?!!”
Yang lain juga terkejut seperti tak percaya.
“Iya,
anak cowo diangkatan kita tuh banyak tau yang drungkard, tapi ga semua. Cuma kebanyakan. Nah, si Raiga ini salah
satunya.” Jelasnya lagi, seolah memberi banyak informasi penting pada kami.
Aku, terutama.
Tunggu
tunggu…
Apa
tadi?
Raiga?
Pemabuk? Gak salah denger kan, aku?
Dengan
wajahnya yang cute, polos, dan
pembawaannya yang kalem membuat hal ini benar-benar sulit dipercaya. Aku tidak
percaya. Aku tidak menyangka bahwa Raiga adalah seorang pemabuk.
Memang
minuman keras bukan lagi hal yang tabu,
apalagi dalam kehidupan remaja. Banyak orang yang bahkan sudah kecanduan. Hanya
yang tidak aku sangka adalah Raiga menjadi salah satunya.
Dan
untuk pertama kalinya aku kecewa. Ternyata Tuhan juga akhirnya menunjukan
kekurangan salah satu makhluk-Nya itu padaku. Walaupun masih belum pasti,
walaupun masih ‘katanya’. Tapi ini cukup berhasil membuatku terkejut.
Tiga.
Tetap tahan.
Sampai
akhir pembicaraanpun rupanya aku masih tahan untuk tidak terpancing membahas
soal Raiga dari sudut pandangku yang berperan menjadi seseorang yang juga
menyukainya. Aku berhasil hanya menjadi pendengar dan penyimak yang baik kali
ini.
Raiga, kenapa sih?...
Terserah
kamu akan menjadi apa sebenarnya dirimu.
Bahkan
jika memang benar kamu pemabukpun aku tidak peduli.
Aku
tetap mau. Mau kamu. Jadi teman hidupmu.
Mendampingimu
dalam keadaan apapun kamu.
Ah, cukup Nadin! Kau berkhayal
terlalu tinggi! Dengarkan aku, kamu bukan seleranya! Kamu hanya bagian dari
butiran-butiran debu yang bertebaran dalam hidupnya.
Ingat, jangan sampai kamu
mengkonyol-konyolkan hidupmu jika sampai kamu mengekspresikan perasanmu
terhadapnya pada yang lain. Kamu akan habis, habis dimakan malu. Habis dimakan
kecewa, sakit bahkan mungkin hancur. Kamu tidak mau, kan itu terjadi?
Kecuali jika kamu membisikannya pada
semesta dan menyampaikannya lewat doa.
Seolah
bisikan itu begitu jelas terngiang ditelingaku. Dan kurasa benar, aku tidak mau
membuat hidupku semakin konyol jika aku sampai hancur oleh sebab yang aku
buat-buat sendiri; Patah hati.
*
Hari
ini Raiga terlihat lebih datar dari biasanya. Ekspresinya juga kusut. Ah, tapi
sepertinya ini hanya perasaanku saja. Jika dipikir-pikir sih, dari sejak awal
aku melihat Raiga dulu, tidak ada ekspresi signifikan yang terpancar
diwajahnya. Datar dan dingin. Selalu.
Bahkan
mungkin bisa kuhitung pakai jari berapa kali aku melihat dirinya berbicara,
berbicara aktif layaknya manusia normal dengan yang lain.
“Hahaha..”
Seisi kelas tertawa. Termasuk aku. Karena Dosen mengucapkan sesuatu yang lucu.
Kulirik
Raiga. Ah! Ternyata...
Jika
kau harap aku akan menemukan ekspresinya yang sedang tertawa juga, kau salah.
Dia hanya membuat ekspresi garis dikelopak bawah matanya dan sedikit menarik
bibirnya. Tipis. Menandakan bahwa ia juga ikut tertawa. ‘nih, gua juga ketawa
loh’.
Ah,
Raiga! Kamu beda. Kau selalu berhasil membuatku kagum.
Raiga
diam. Dingin. Jangankan padaku yang istilahnya termasuk kedalam daftar orang
yang tidak akrab dengannya, dengan teman-teman se-genknya pun aku jarang
melihat dia berinteraksi aktif. Saat yang lain gaduh dikelaspun, aku lihat dia
tengah asyik dengan dirinya sendiri. Diam. Tapi tidak juga memperhatikan
sekitar. Lebih tepatnya sedikit melamun dan berdiam diri. Tapi bukan juga minder.
Atau paling banter ia ku lihat sedang asyik memainkan ponselnya. Tapi itu
jarang sekali.
Sepertinya
setiap hari, tiap suasana, tiap waktu, tiap detik yang kulihat dirinya, memang
itulah ekspresinya. Datar, kusut, dingin ‘tak bergeming. Yang ku tau dari sini,
bahwa dirinya adalah introvert. Sama seperti diriku.
Dia
minoritas. Dia tidak mendominasi, tapi sangat kontras. Dan aku suka.
Sampai
pada suatu hari, aku melihat foto profil di whatsapp-nya adalah foto seorang
tokoh. Ya, musisi. Duta. Duta Sheila On 7.
Oh,
rupanya ia seorang Sheila Gank.
Jadi
rupanya ini juga alasan ia memanjangkan rambutnya kemarin. Biar mirip Duta
gitu, ya. Ooh, oke oke. Aku paham sekarang. Yang jika ku perhatikan, rambut
paska gondrongnyapun mirip dengan rambut tidak gondrongnya Duta. Mungkin kalian
bertanya-tanya, mengapa aku bisa menyimpulkan seperti ini? Karena ya, waktu itu
aku liat foto Duta di salah satu sosmed yang potongan rambutnya sama persis
kaya rambutnya Raiga yang sekarang. Jadi, gitu.
Lagi.
Aku menemukan fakta baru tentang Raiga.
Dia…
adalah seorang… Sheila Gank… Yang
mana lagu idolanya sering ku dengarkan jika si
patah hati sedang melandaku. Hmmm.
*
Sudah
terhitung sekitar jalan dua bulan aku meresmikan perasaanku pada Raiga.
Dua
bulan. Dan tidak ada perkembangan. Seolah aku memang tidak punya cara untuk
berusaha, atau mengusahaknnya agar bisa dekat dengannya.
Raiga
akan tetap jadi Raiga yang sulit di gapai, dan aku akan tetap jadi Nadin yang
sulit menggapai. Rupanya, Tuhan berkehendak lain, semesta juga punya cara lain.
Dan tugasku sekarang adalah cukup ikhlas menerimanya. Jika aku dan Raiga memang
tidak harus bersama.
Raiga,
ternyata aku juga tidak bisa menepati janjiku pada diriku sendiri diawal yang
kubilang aku akan memastikan jika suatu saat kita akan berbicara panjang.
Berdua saja. Hanya ada aku, kamu dan semesta yang menjadi saksi.
Menemanimu
menonton konser SO7, menyemangati dan membawakan sebotol minuman segar ketika
kamu bermain futsal, serta membantumu mengerjakan tugas kuliah. Walau hanya hal-hal sesederhana itupun, ternyata itu
semua hanya menjadi fatamorgana yang tersirat dalam imajinasiku.
Kamu
terlalu tinggi, apalah dayaku yang terlalu rendah untuk bisa menggapaimu.
Raiga,
aku juga tidak tau apa rencana Tuhan selanjutnya. Apakah ternyata ini hanyalah
sebuah rasa penasaran yang ada pada diriku terhadapmu yang nantinya lama
kelamaan juga akan hilang dengan sendirinya dimakan oleh waktu. Atau memang
hatiku mengatakan kamu. Kamulah yang aku mau. Logikaku juga sudah memutuskan,
bahwa aku jatuh cinta dengan kamu.
Entahlah,
apapun jawabannya yang aku temukan nanti, ku harap itu memang yang terbaik dari
yang terbaik.
Raiga,
tetaplah jadi dirimu. Dirimu yang aku kagumi.
Terimakasih
sudah menjadi peran yang mau ku utamakan dalam hidupku. Sampai bertemu, suatu
saat nanti…
***
0 komentar:
Posting Komentar