Tidak ada yang lebih mengagetkanku dari aku yang sedang
nikmat-nikmatnya makan gorengan di setengah malam, lalu tiba-tiba ponselku
berbunyi pertanda masuknya notifikasi. Satu, dua kali, bahkan beberapa bunyi
selanjutnya terus terdengar sebelum akhirnya kuputuskan untuk membukanya.
Anisa! Tidak seperti biasanya ia spam chat seperti ini.
“Nida”
“P”
“P”
“P”
“Nandang meninggal”
Eh, gimana? Gimana?
Nandang siapa ya, maksudnya?
Nandang kawannya kawanku?
Nandang sodaranya kawan lamaku?
Nandang bola nomer 19?
Nandang si Nandang?
Nandang siapa ya, maksudnya?
Nandang kawannya kawanku?
Nandang sodaranya kawan lamaku?
Nandang bola nomer 19?
Nandang si Nandang?
“Ngelayat lu sono” di enter chat ia selanjutnya.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benakku. Aku benar-benar kaget. Masih tidak percaya dengan informasi
apa yang barusan aku dapat.
Aku masih memegang ponselku. Membuang pandangan. Melihat tanpa arah. Membuatnya kosong. Menandakan isi kepala yang sedang berpikir. Berpikir tentang Nandang.
Yang pertama kali aku melihatnya, saat ia bermain sepak bola bersama tim sekolahnya yang juga sekolahku. Saat itu ia mengenakan jersey bernomor punggung 19 yang kebetulan merupakan nomor favoritku, yang sekarang kupakai juga di nomor punggung jerseyku.
Postur tubuhnya yang tinggi diatas rata-rata teman-temannya,
membuat ia terlihat nyentrik di lapangan hijau. Dari sinilah aku tau, dia
adalah Nandang.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Aku juga tidak
akan banyak menceritakannya, karena memang tidak ada kontribusi Nandang disini.
Bagaimana ada kontribusi, toh aku juga memang tidak mengenalnya. Ya memang kita
tidak saling kenal, aku saja yang kepo saat itu.
Berbulan-bulan, waktu demi waktu terlewati. Hingga di tahun
berikutnya, rupanya aku mulai menemukan kesenangan dalam olahraga Futsal.
Sehingga, hal ini membuatku bertemu dan selalu bersosialisasi dengan
orang-orang yang mempunyai hobi yang sama. Seperti pagi itu, aku membangunkan
Sipa salah satu teman baikku yang kutemukan di perfutsalan untuk segera
bergegas siap-siap untuk pergi kesekolahku. Niatnya sih, aku mau latihan pagi
sama Sipa. Ya, hari ini Sipa menginap dirumahku untuk menghabiskan hari
minggunya.
Sampai di sekolah, aku bertemu seseorang yang wajahnya sudah
tidak asing lagi. Dan ya, ekspresi wajahnya juga sama. Sama seperti ekspresi
saat kupertama kali melihatnya dulu di lapangan hijau. Datar. Tanpa ekspresi.
Karena kami belum saling mengenal saja mungkin ya, makanya ia belum berani memberi
ekspresi yang lebih dari datar untuk berkomunikasi denganku.
Ia turun ke lapangan melibatkan diri bersamaku dan Sipa
untuk passing-passing bola. Jadilah kita passing-an di tengah lapangan sekolah
yang panas banget waktu itu. Dan aku dengan beraninya tidak mengenakan alas
kaki sama sekali.
"Pake kaki dalem" ucap Nandang memberi arahan padaku.
Aku hanya mengangguk.
"Pake kaki dalem" ucap Nandang memberi arahan padaku.
Aku hanya mengangguk.
Tidak lama, kami menepi. Untuk pertama kalinya aku
mengajaknya berbicara, “Nandang ya?”
“Iya, kok tau?”
“Gapapa, tau aja. Sering liat.”
Lalu ia meminggirkan diri ke sisi lapangan, duduk. Aku
mengambil air minum ditas yang kebetulan ada di samping Nandang. “Ini latihan
bola disini bukannya dulu hari minggu, ya?”
“Sekarang mah hari rabu sama jumat.”
“Pengen ikut latihan lah ntar.”
“Bola apa basket?”
“Bola. Tapi fokusnya sih kalo kita futsal.” jawabku
“Dateng aja nanti rabu.”
“Okedah, Inshaallah dah, kalo lagi ada disini” aku kembali
ke tengah lapangan yang sangat sangat panas itu.
Aku melihat Nandang bersiap-siap memakai sweaternya, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Tak lama ia datang
dengan diikuti seorang perempuan dibelakangnya, yang kira-kira 2 tahun lebih muda dariku. Oh, ternyata tadi dia pergi mau jemput pacarnya, toh.
Lalu setelahnya, Nandang yang sedari tadi duduk disamping
kami, bersiap-siap mengganti pakaian untuk segera turun ke lapangan untuk
bermain futsal karena sekarang giliran tim kelasnyalah yang waktunya bertanding. Memang kebetulan, waktu itu di sekolah kami sedang mengadakan agenda kegiatan tahunan; kompetisi futsal antar kelas.
Setelah menonton beberapa babak pertandingan, matahari semakin
tinggi, hingga akhirnya aku dan Sipa memutuskan untuk pulang.
Semua berjalan seperti biasa. Hingga pada suatu hari, saat aku sedang scroll-scroll instagram, aku melihat postingan kawan dekat lamaku memposting foto dengan Nandang di acara idul fitri. Yang rupanya mereka adalah saudara dekat, ah tuhkan! Dunia sesempit itu. Disini aku kembali mendapat satu fakta baru tentang Nandang.
Selanjutnya, tidak ada gejolak sama sekali yang terjadi di hidupku. Sampai pada suatu hari, takdir mengharuskan aku menjalani komunikasi intens dengan salah satu kawan Nandang. Laki-laki tentunya. Hal ini membuat aku selalu mendengar kabar dan perkembangan Nandang dari cerita-ceritanya.
Selanjutnya, tidak ada gejolak sama sekali yang terjadi di hidupku. Sampai pada suatu hari, takdir mengharuskan aku menjalani komunikasi intens dengan salah satu kawan Nandang. Laki-laki tentunya. Hal ini membuat aku selalu mendengar kabar dan perkembangan Nandang dari cerita-ceritanya.
Disuatu siang, dia mengabari jika sore nanti ada
pertandingan tarkam yang akan ia
ikuti bersama tim sekolahnya. Yangmana disitu jelas ada Nandang. Karena merasa
orang terdekat, aku memutuskan untuk datang menonton sebagai bentuk apresiasi. Aku
datang bukan tepat di awal pertandingan. Ya, aku datang di tengah-tengah babak
pertama karena saat itu aku sedang berada diluar kota. Jadi ya, perjalanan
menuju venue cukup memakan waktu lah,
ya.
Aku mencari kawanku, dimana dia. Mataku melihat ke satu
persatu pemain ditengah lapang yang sedang berlarian. Karena mengingat dia
sering gonta-ganti nomor punggung. Ah, tidak ada.
Aku malah terlebih dulu menemukan Nandang disana. Entah kenapa ia selalu terlihat paling mencolok. Nampaknya ia juga sadar dengan keberadaanku disini, di pinggir lapangan.
Ah, itu dia! Nomer 10. Kawanku! Akhirnya, aku menemukannya. Kurasa ini saat yang tepat untuk melambaikan tangan pada kawanku sebagai isyarat bahwa aku
ada disini, berdiri untuk mengapresiasinya. Karena kurasa ia sedang kebetulan melihat ke arahku.
Setelah beberapa lama, aku bosan. Baru kali ini aku merasa
bosan saat menonton kawanku di lapangan. Serius. Sampai aku mati gaya. Pertandingan
sudah selesai. Jam sudah menunjukan pukul 17.45, yang seharusnya orang-orang
disini sudah pulang karena sebentar lagi adzan maghrib berkumandang.
Tapi rupanya, itu tidak berlaku untuk kawanku dan timnya. Mereka
masih melakukan evaluasi tim bersama pelatih. Hanya Nandang yang aku lihat
sedang bersiap-siap untuk segera pulang. Setelah pamit kepada Pelatih, ia
berjalan dengan terburu-buru menuju parkiran. Melewatiku. Aku pura-pura tidak
melihatnya, karena aku tau, jika aku menyapanyapun tidak akan mendapat respon
yang signifikan.
Tapi setelah itu, aku malah menoleh kebelakang untuk
melihatnya lagi. Bego memang.
Adzan maghrib berkumandang, kawanku dan timnya masih belum
bergegas juga. Keterlaluan memang. Setelah sekitar 15 menit kemudian, mereka
baru membubarkan diri. Kawanku berlari kearahku dengan buru-buru, dan meminta
maaf karena telah membuatku menunggu lama, katanya.
“Aku gatau kalo kamu nonton di pinggir lapangan kalo bukan
Nandang yang kasih tau.” Ucapnya membuka pembicaraan ditengah jalan pulang.
“Hah? Berati dari tadi kamu noleh ke arah aku, trus pas aku
dadahin juga kamu ga sadar ada aku disitu?”
“Ngga.”
“Iiihh..” “Gimana Nandang bilangnya?”
“Istirahat babak pertama, Nandang bisik ke aku “tuh kerudung
item”, eh ternyata kamu disitu”
Ah, rupanya Nandang lebih peka dibanding dirinya. Huft…
“Tadi kalah ya? Berapa skorsnya?”
“3-1”
“Tim kamu siapa yang golin?”
“si Nandang.”
“Oh..”
Di selanjutnya, aku bertemu dengan Nandang di jalan. Aku menyapanya
dengan membunyikan klakson motorku dan berbisik kepada diriku sendiri menyebut
namanya. Yang aku hanya mendapat respon lirikan saja darinya. Karena motor kami
masing-masing memang berjalan agak cepat waktu itu, jadi aku tidak yakin jika
Nandang sadar bahwa maksud klaksonku adalah untuknya.
Ingatan-ingatan itu seketika kembali berputar di kepalaku. Tentang
Nandang. Entah kenapa, ada rasa kehilangan yang mendalam. Padahal, jika boleh
kukatakan, aku bahkan belum mengenalnya secara langsung. Tapi rasa empati ini
cukup terasa di hati dan fikiranku. Tak terasa, air mata membanjiri pipiku.
Ya, Nandang mengalami kecelakaan saat tengah bermain sepak
bola. Benturan hebat dengan lawannya berhasil membuat dadanya sakit, sesak, dan
kehilangan oksigen selama beberapa saat sebelum akhirnya di larikan ke rumah
sakit terdekat. Setelah mendapat penanganan, ternyata Nandang harus dirujuk ke
RSUD untuk mendapat penanganan intens.
Belum banyak ceritaku tentang Nandang, rupanya Tuhan
berkehendak lain, Nandang menghembuskan nafas terakhirnya di perjalanan menuju
RSUD.
Besoknya ia baru dimakamkan karena mengingat saat itu hari sudah
malam.
Teman-teman, aku ingin berkata, dari kejadian ini kita kembali
mendapat bukti jika sepak bola memang keras. Apapun bisa terjadi. Bahkan nyawa
bisa jadi taruhannya. Sudah banyak insiden dalam sepak bola yang mengancam
nyawa sang pemain. Hal ini adalah yang paling ditakutkan oleh setiap atlet. Cidera.
Bahkan sampai meregang nyawa. Keep safety.
Walaupun kita sama-sama tahu, jika cidera dan semacamnya adalah sudah menjadi
resiko setiap atlet. Tapi berhati-hati tetaplah harus.
Di hari ke 4 kematian Nandang, aku baru sempat melayat ke
kediamannya untuk ikut mengirim do’a dan turut berduka cita terhadap
keluarganya.
Aku dibawa masuk ke kamar Nandang. panorama yang pertama
kali ku tangkap adalah tumpukan jersey bola milik Nandang yang dilipat menumpuk
di sudut ruangan. Jersey yang tidak asing bagiku, karena itu yang biasa kulihat
Nandang mengenakannya. Semuanya bernomor punggung 11. Kecuali satu jersey yang bernomor punggung 10.
Entah bagaimana cerita jersey bernomor punggung 19 yang ia kenakan saat pertama kali aku melihatnya dulu. Entah jersey pinjaman atau bagaimana. Aku tidak tahu.
Entah bagaimana cerita jersey bernomor punggung 19 yang ia kenakan saat pertama kali aku melihatnya dulu. Entah jersey pinjaman atau bagaimana. Aku tidak tahu.
Aku juga melihat beberapa name
tag pertandingan Nandang yang tergantung di pintu kamarnya, kotak taping yang biasa Nandang pakai, jam
tangan yang tergantung di atas lemari, celana, dan segala barang-barang Nandang
yang tidak asing kulihat ada semuanya disana. Di ruangan Nandang. Bahkan di
tengah-tengah dinding juga ada foto squad
tim sekolah Nandang saat pertandingan dan pertemuan pertama aku dengan Nandang
dulu, yang aku ceritakan diawal.
Aku juga tau, sejauh ini kontribusi dan prestasi Nandang di sepak bola sekolah maupun diluar sekolah bisa dikatakan cukup lumayan.
Aku menangis lagi. Bahkan saat menulis inipun, kelopak
mataku tak kuasa membendung air matanya, ia jatuh lagi. Kembali membasahi pipiku.
Nandang, apapun yang terjadi sekarang aku percaya jika ini
tidak lepas dari skenario dan kuasa Tuhan.
Sekarang, beristirahatlah dengan tenang. Kami disini akan
selalu mendo’akan mu, agar mendapat tempat yang paling indah di sisi Tuhan.
Kami akan mengenangmu sebagai pesepak bola.
Aku akan mengingatmu sepanjang masa, sebagai Nandang Triyatna si pesepak bola
nomor punggung 19.
0 komentar:
Posting Komentar